SEJARAH KOTA SUMEDANG
diambil dari :wikipedia
SEJARAH KOTA SUMEDANG
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih
atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke
Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama
Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan
Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”.
Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Kabupaten Sumedang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Sumedang, sekitar 45 km Timur Laut Kota Bandung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di Utara, Kabupaten Majalengka di Timur, Kabupaten Garut di Selatan, Kabupaten Bandung di Barat Daya, serta Kabupaten Subang di Barat.
Kabupaten Sumedang terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Sumedang, ibukota kabupaten ini, terletak sekitar 45 km dari Kota Bandung. Kota ini meliputi kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Sumedang dilintasi jalur utama Bandung-Cirebon.
Bagian Barat Daya wilayah Kabupaten Sumedang merupakan kawasan perkembangan Kota Bandung. IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), sebelumnya bernama STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri), serta Universitas Padjadjaran berlokasi di Kecamatan Jatinangor.
Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali di sebagian kecil wilayah Utara berupa dataran rendah. Gunung Tampomas (1.684 m), berada di Utara Sumedang.
Daftar isi |
Sejarah
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja Galuh. Didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang
mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung
(Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu
Guru Aji Putih pada abad ke-12.
Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar
Buana, yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi Sumedang Larang
(Sumedang berasal dari Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku
dilahirkan, dan larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya).
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angka Wijaya dan Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1578, dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan Samudera Hindia, wilayah Utara sampai Laut Jawa, wilayah Barat sampai dengan Cisadane, dan wilayah Timur sampai dengan Kali Pamali.
Kerajaan ini kemudian menjadi vazal Kesultanan Cirebon, dan selanjutnya berada di bawah kendali Kesultanan Mataram,
di masa Sultan Agung. Pada masa Mataram inilah teknik persawahan
diperkenalkan di tanah Pasundan dan menjadi awal istilah "gudang beras"
untuk daerah antara Indramayu hingga Karawang/Bekasi. Dalam strategi
penyerangan Sultan Agung ke Batavia wilayah Sumedang dijadikan wilayah
penyedia logistik pangan. Selain itu, aksara Hanacaraka
juga diperkenalkan di wilayah Pasundan pada masa ini, dan dikenal
sebagai Cacarakan. Pusat kota Sumedang juga dirancang pada masa ini,
mengikuti pola dasar kota-kota Mataraman lainnya. Sebelum Bandung
dibangun pada abad ke-19, Sumedang adalah salah satu pusat budaya
Pasundan yang penting.
Ketika Pakubuwono II harus memberikan konsesi kepada VOC,
wilayah kekuasaan Sumedang diberikan kepada VOC, yang kemudian
dipecah-pecah, sehingga wilayah Sumedang menjadi seperti yang sekarang
ini.
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa,
yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung,
rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat
bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun
1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari Negeri Belanda
dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria Soeriaatmadja atas jasa-jasanya
dalam mengembangkan Kabupaten Sumedang. Lingga diresmikan pada tanggal 22 Juli 1922 oleh Gubernur Jenderal Mr. Dr. Dirk Fock
Sampai saat ini Lingga dijadikan lambang daerah Kabupaten Sumedang dan
tanggal 22 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang.
Lambang Kabupaten Sumedang, Lingga, diciptakan oleh R Maharmartanagara,
putera seorang Bupati Bandung Rd Adipati Aria Martanegara, keturunan
Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi lambang Sumedang pada tanggal
13 Mei 1959.
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
1. Perisai : Melambangkan jiwa kesatria utama, percaya kepada diri sendiri
2. Sisi Merah : Melambangkan semangat keberanian
3. Dasar Hijau : Melambangkan kesuburan pertanian
4. Bentuk Setengah Bola dan Bentuk Setengah Kubus Pada Lingga : Melambangkan bahwa manusia tidak ada yang sempurna
5. Sinar Matahari : Melambangkan semangat dalam mencapai kemajuan
6. Warna Kuning Emas : Melambangkan keluhuran budi dan kebesaran jiwa
7. Sinar Yang ke 17 Angka : Melambangkan Angka Sakti tanggal Prroklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
8. Delapan Bentuk Pada Lingga : Lambang Bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
9. 19 Buah Batu Pada Lingga, 4 Buah Kaki Tembik dan 5 Buah Anak
Tangga : Lambang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun
1945
10. Tulisan Insun Medal : Tulisan Insun Medal erat kaitannya dengan kata Sumedang yang mengandung arti:
a. Berdasarkan Prabu Tadjimalela, seorang tokoh legendaris dalam
sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (Insun : Aku, Medal : Keluar)
b. Berdsarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (Insun:
Daya, Madangan: Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
c. Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, Insun Medal beasal dari kata Su dan Medang
(Su: bagus dan Medang: sejenis kayu yang bagus pada Jati yaitu huru
yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat
etimologi
Inilah sekedar Selayang Pandang Kabupaten Sumedang, yang pada hari
Selasa 22 April 2008, genap berusia 430 tahun. Disini saya coba uraikan
sejarah singkat Sumedang.
Menurut Bujangga Manik, di dekat Gunung Tampo Omas terdapat Kerajaan
Kahiyangan, yang diserang pasukan Cirebon dalam masa pemerintahan
Surawisesa.
Belum jelas, adakah hubungan antara Medang Kahiyangan dan Sumedang
Larang. Namun pada sat Bujangga Manik memasuki Medang Kahiyangan,
menurut versi lainnya, saat itu sudah terdapat kerajaan yang disebut
Sumedanglarang.
Dalam Keropak 410 disbutkab, Pendiri Kerajaan Sumedang Larang tak
lain adalah Praburesi Tadjimalela. Ia berkedudukan di Tembong Agung yang
disebut Mandala Himbar Buana.
Masih belum jelas pula asa-usulnya tokoh Legendaris leluhur Sumedang
ini. Sebab, Tadjimalela adalah nama lain dari Panji Romahyang, putra
Damung Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura (Rintisan Penelusuran
silam sejarah Jawa Barat).
Sumber lain menjelaskan, baik Kitab Waruga Jagat, Layang Darmaraja,
maupun riwayat yang berdasarkan tradisi lisan yang masih hidup, disebut
kan bahwa Prabu Tajimalela adalah putra Prabu Guru Aji Putih, salah
seorang keturunan raja Galuh yang masih bersaudara dengan Sribaduga
Maharaja I. Ia melakukan petualangan hingga ke kawasan Timur sekitar
pinggiran Sungai Cimanuk.
Prabu Tajimalela masih memiliki sejumlah nama, antara lain: Praburesi
Agung Cakrabuana, Batara Tuntang Buana, dan Aji Putih. Dalam Waruga
Jagat yang telah disalin dari huruf Arab ke dalam tulisan latin (1117
H), antara lain dikatakan: "Ari putrana Sang Dewa Guru Haji Putih,
nyaeta Sang Aji Putih."
Kehadiran Prabu Guru Haji Putih melahirkan perubahan-perubahan baru
dalam kemasyarakatan, yang telah dirintis sejak abad ke-8 oleh Sahyang
Resi Agung. Secara perlahan dusun-dusun di sekitar pinggiran sungai
Cimanuk itu diikat oleh suatu struktur pemerintahan dan kemasyarakatan
hingga berdirilah keajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal
Kerajaan Sumedang Larang. Kerjaan Tembong Agung tersebut, menurut
riwayat teletak di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan
Darmaraja.
Prabu Guru Haji Putih berputera Prabu Resi Tajimalela. Berdasarkan
perbandingan generasi dalam Koropak 410 Tajimalela sejajar dengan tokoh
Ragamulya (1340-1350) penguasa di Kawali dan tokoh Suryadewata, ayahada
Batara Gunung Bitung di Majalengka.
Memang belum diperoleh keterangan sumber yang menyebut-nyebut siapa
grangan istri Sang Praburesi Tajimalela. Namun demikian, dalam beberapa
sumber baik lisan maupun tertulis, dikatakan Praburesi Tajimalela
mempunyai dua orang putra: Prabu Gajah Agung dan Lembu Agung.
Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh
putranya bernama Atmabrata yang lebih dikenal dengan sebutan Gajah
Agung yang berkedudukan di Cicanting.
Kisah awal raja ini memang mirip dengan kisah awal Kejaraan Mataram.
Menurut versi Babat Tanah Jawi, antara Ki Ageng Sela dengan Ki Ageng
Pamanahan, KiAgeng Sela memetik dan menyimpan buah kelapa muda, lalu ia
pergi. Datang Ki Ageng Pamanahan yang kemudia meminumnya. Maka kemudian
yang menjadi raja Ki Ageng Pamanahan.
Demikian pula dalam naskah Layang Darmaraja, yangmengisahkan Prabu
Lembu Agung dan Gajah Agung yang melanjutkan tahta kepemeimpinan dari
Praburesi Tajimalela.
Dikisahkan, pada suatu ketika Prabu Tajimalela memanggil kedua putra
kembarnya Lembu Gung dan Gajah Agung. Prabu Tajimalela berkata kepada
mereka agar ada di antara salah seorang putranya ini yang bersedia
melanjutkan kepemimpinannya.
"Adinda, adindalah kiranya yang lebih tepat menjadi raja," ujar Lembu
Agung kepada adiknya. "Kakanda, sungguh tidak pantas adinda yang masih
muda usia, bila harus menjadi raja. Kakandalah yang lebih tepat," jawab
Gajah Agung. Setelah di antara kedua putranya, masing-masing saling
menunjuk siapa di antara mereka yang pantas menjai raja, akhirnya Prabu
Resi Tajimalela memetik buah kelapa muda lalu disimpannya kelapa tadi
serta sebilah pedang.
Mereka berdua disuruh menungguinya. "Adinda, tolong jaga kelapa ini.
Kakanda hendak pergi ke jamban dulu,"kata Lembu Agung seraya pergi
meninggalkan Gajah Agung. Tiba-tiba sepeninggal Lembu Agung, Gajah Agung
merasakan haus yang bukan kepalang.
Apa boleh buat, untuk menghilangkan dahaganya, Pabu Gajah Agung
kemudian menupas kelapa itu dan diminumlah airnya. Karenanya, ketika
Lembu Agung kembali lagi, Gajah Agung langsung menyampaikan permohonan
maaf kepada Lembu Agung karena rasa bersalahnya telah meminum air kelapa
yang semestinya dijaganya.
Semula Prabu Gajah Agung mengka, Prabu Lembu Agung akan memarahinya.
Namun ternya, dengan kebesaran jwa Prabu Lembu Agung malah berkta: "
Adinda, tampanya suratan takdir telah menentukan, dengan diminumnya air
kelapa tadi oleh adinda, sudah barang tentu Adindalah yang sekarang
terpilih menjadi raja," ucap Lembu Agung.
Singkat cerita, jadilah Prabu Gajah Agung meneruskan kepemimpinan
Prabu Tajimalela, yang kemudian ia meninggalkan tempat menuju daerah di
pinggiran Kali Cipeles untuk mendirikan kerajaan yang sekarang disebut
Ciguling.
Kemudia ia bergelar Prabu Pagulingan. Sementara kepemimpinan Prabu
Gajah Agung kemudian digantikan oleh putranya , Wirajaya, yang lebih
dikenal Sunan Pagulingan. Dalam Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah
Jawa Bart Sunan Pagulingan berkedudukan di Cipameungpeuk.
Namun ada pula yang mengisahkan, kedudukan Kerajaan Sumedang Larang
pada saat itu berada di Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan, Kecamatan
Sumedang Selatan. Yang jelas, ketiga raja Sumedang Larang yang pertama
ini masing-masing berkedudukan di tempat yang berbeda-beda. Ini merpakan
suatu gejala, bahwa kerajaan tersebut belum permanen yang dapat
ditinggali turun temurun oleh para peberus pemegang kekuasaannya.
Keadaan tersebut berlangsung sampai beberapa generasi berikutnya.
Putri Sulung Pagulingan bernama Ratu Ratnasih alias Ny Rajamantri
diperistri Sribaduga Maharaja. Karena itu, adiknya bernama Martalaya
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi penguasa Sumedang yang keempat
dengan gelar Suna Guling.
Sunan Guling digantikan oleh putranya bernama Tirta Kusumah atau
Sunan Patuakan sbagai raja kelima Sumedang Larang. Kemudian, ia
digantikan lagi oleh putri sulung bernama Sintawati alias Ny Mas
Patuakan.
Antara Ibu dan anak ini mempunyai gelar yang sama yaitu Patuakan.
Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Corenda, raja Talaga putera Ratu
Simbar Kencana dari Kusumalaya putera Dewa Niskala. Dengan demikian, ia
menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua permaisuri yakni Mayangsari putri
Langlang Buana dari Kuningandan Sintawati dari Sumedang. Dari Mayangsari
Sunan Corenda memperoleh puteri Bernama Ratu Wulansari alias Ratu
Parung.
Berjodoh dengan Rangga Mantri alias Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umum
Talaga), putera Mundung Surya Ageung. Tokoh ini putera Sribaduga. Sunan
Parung Gangsa ditakllukan oleh Cirebon tahiun 1530 dan masuk Islam.
Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling, Sunan Corenda mempunyai
puteri bernama Satyasih, yang kemudian menjadi penguasa Sumedang dengan
gelar Ratu Pucuk Umum. atu Pucuk Umum Menikah dengan Ki Gedeng Sumedang
yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri. Pangeran ini adalah
putera Pangeran Palakaran dari puteri Sindangkasih. Pangeran Palakaran
putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan.
Dengan perkawinan antara Ratu Satyasih dan Ki Gedeng Sumedang inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529.
Pangeran Santri dinobatkan sebagai penguasa Sumedang pada tanggal 13
bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 Saka, atau kira-kira 21 Oktober 1530
M, tiga bula setelah penobatan Pangeran Santri.
Pada tanggal 12 bagian terang bulan Margasira tahun 1452 di Keraton
Pakungwati diselenggarakan perjamuan "syukuran" untuk merayakan
kemenangan Cirebon atas Galuh dan sekaligus pula merayakan penobatan
Pangeran Santri.
Hal ini menunjukkan, bahwa Sumedang Larang telah masuk dalam
lingkaran pengaruh Cirebon. Pangeran Santri adalah murid Susuhunan Jati.
Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pertama yang menganut Islam.
Ia pula yang membangun Kutamaya sebagai Ibukota baru untuk
pemerintahannya.
Dari perkawinannya dengan Ratu Pucuk Umum alias Ratu Inten Dewata,
Pangeran Santri yang bergelar Pangeran Kusumahdinata I ini dikaruniai
enam orang anak yaitu Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun), Kyai
Rangga Haji, Kyai Demang Watang Walakung, Santowan Wirakusumah, yang
melahirkan keturunan anak-cucu di Pagaden Subang, Santowan Cikeruh dan
Santowan Awiluar.
Pangeran Santri wafat 2 Oktober 1579. Di antara putra-putri Pangeran
Santri dari Ratu Inten Dewata (Pucuk Umum), yang melanjutkan
pemerintahan di Sumedang Larang ialah Pangeran Angkawijaya bergelar
Prabu Geusan Ulun. Menurut Babad, daerah kekuasaan Geusan Ulun dibatasi
kali Cipamali di sebelah Timur, Cisadane di sebelah Barat, sedangkan di
sebelah Selatan dan Utara di batasai laut.
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat diisimak dari isi surat Rangga
Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn.
Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ulawal tahun Je atau 4 Desember
1690, yang dibuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari
1691.
Dalam surat tadi, Ranggal Gempol III (Pangeran Panembahan
Kusumahdinata IV) menuntut agar kekuasannyadipulihkan kembali seperti
kekuasaan buyutnya yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol mengungkapkan bahwa
kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 22
kadagalante dan 18 umbul.
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
I. Di Kabupaten Bandung
1. Timbanganten
2.Batulayang
3. Kahuripan
4. Tarogong
5. Curugagung
6. Ukur
7. Marunjung
8. Daerah Ngabei Astra Manggala
II. Di Kabupaten Parakanmuncang
1. Selacau
2. Daerah Ngabei Cucuk
3. Manabaya
4. Kadungora
5. Kandangwesi (Bungbulang)
6. Galunggung (Singaparna)
7. Sindangkasih
8. Cihaur
9. Taraju
III. Di Kabupaten Sukapura
1. Karang
2. Parung
3. Panembong
4. Batuwangi
5. Saung Watang (Mangureja)
6. Daerah Ngabei Indawangsa di Taraju
7. Suci
8. Cipiniha
9. Mandala
10. Nagara (Pamungpeuk)
11. Cidamar
12. Parakan Tiga
13. Muara
14. Cisalak
15. Sukakerta
Berdasarkan data yang dikirimkan Rangga Gempol III pada masa VOC,
maka kekuasaan Prabu Geusan Ulun meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya,
dan Bandung. Batas di sebelah Yimur adalah Garis Cimanuk - Cilutung
ditambah Sindangkasih (daerah muara Cideres ke Cilutung).
Di sebelah Barat garis Citarum - Cisokan. Batas Di sebelah Selatan
laut Namun di sebelah Utara diperkirakan tidak meliputi wilayah yang
telah dikuasai oleh Cirebon.
Masa kekuasaan Prabu Geusan Ulun (1579-1601) bertepatan dengan
runtuhnya Kerajaan Pajajaran akibat serangan Banten di bawah Sultan
Maulana Yusuf.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Pajajaran mengutus empat
Kandagalante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk
Prabu Geusan Ulun yangpada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya
melanjutkan kekuasaan Pajajaran. Geusan Ulun harus menjadi penerus
Pajajaran.
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajran yang diutus
ke Sumedang tersebut yaitu Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu); Wirajaya
(Nagganan); Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Pustaka Kertabumi 1/2 memberitakan keempat bersaudara tersebut secara
ringkas: "Sira Paniari deing Pangeran Geusan Ulun, Rukungsira rumaksa
wadyabalad, sinangguhan niti kaprabunmuwang salwirnya" (Mereka mengabdi
kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina Balatentara, ditugasi
mengatur pemerintahan dan lain-lain).
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara
Wiradijaya sesuai julukannya bekas Nangganan. Menurut Keropak 630,
jabatan Nangganan lebih tinggi setingkat dari menteri, namun setingkat
lebih rendah dari Mangkubumi.
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran Legi (Manis), merupakan
saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting.
Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun
"Nyakrawati" atau Nalendra merupakan semacam proklamasi kebebasan
Sumedang yang mensejajarkan diri diri dwngan Kerajaan Banten dan
Cirebon. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah
pernyataan bahwa Sumedsang Larang menjadi ahli waris serta penerus dari
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya
Perkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun merupakan bukti
legalisasi kebesaran Sumedang Larang.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun
babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada
abad XVI ke Pajajran, merupakan peristiwa yangmembuat Kerajaan Pajajaran
Runtag (runtuh).
Berakhirnya Pajajran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang
dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian
rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru
dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian
berkembang.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan
peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber sejarah yang dijadikan pegangan
dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
Pertama : Kitab Waruga Jagat, yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun
117 M. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam
upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi
Sumedang."Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan
Syafar Tahun Jim Akhir" artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14
Syafar tahun JimAkhir.
Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr R Asikin Widjayakusumah
yang menyertakan antara lain: Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra
(harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sbada burak Pajajaran.
Artinya, Pangeran Geusan Ulun menjadi raja yang berdaulat di Sumedang
Larang setelah Kerajaan Pajajaran berakhir.
Tiga : Dibuat Prof Dr Husein Djajadiningrat berjudul : Critise
Beshuocing van de Sejarah Banten. Desertasi ini antara lain menyebutkan
srangan tentara Islam ke Ibukota Pajajaran terjadi pada tahun 1579,
tepatnya Ahad 1 Muharam tahun Alif.
Mengacu pada ketiga sumber sejarah tadi, maka dalam disksi untuk
menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing
Drs Said Raksakusumah; Drs Amir Sutaarga; Drs Saleh Dana Sasmita; Dr
Atja dan Drs A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahw 14 Syafar Tahun Jim
Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22
April 1578.
Atas dasar itu DPRD Daerah Tingkat II Sumedang waktu itu, dalam
Keputusan Nomor 1/Kprs/DPRD/Smd/1973, Tanggal 8 Oktober 1973, menetapkan
tanggal 22 Apri 1578 sebagai jadi Jadi Kabupaten Sumedang.
Komentar
Posting Komentar