SEJARAH KOTA CIREBON
ADA BANYAK TULISAN MENGENAI SEJARAH KOTA CIREBON, berikut kami poskan beberapa tulisan dari berbagai sumber.
Pupuh pertama Dangdanggula, 13 Bait.
Pupuh
ini diawali oleh kalimat Bismillahi ya rakhman nirakhim. Pupuh ini
menceritakan lolosnya Walangsungsang—putra Prabu Siliwangi—yang
berkeinginan mencari agama Nabi Muhammad. Walangsungsang –yang juga
putra mahkota Kerajaan Pajajaran—berkeinginan untuk berguru agama Nabi
Muhammad. Lalu, ia mengutarakan maksudnya kepada ayahandanya, Prabu
Siliwngi. Namun, Prabu Siliwangi melarang bahkan mengusir
Walangsungsang dari istana. Pada suatu malam, Walangsungsang melarikan
diri meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Ia menuruti panggilan mimpi
untuk berguru agama nabi (islam)kepada Syekh Nurjati, seorang pertapa
asal Mekah di bukit Amparan Jati cirebon. Dalam perjalanan mencari
Syekh Nurjati, Walangsungsang bertemu dengan seorang pendeta Budha
bernama Sang Danuwarsi.
Pupuh
ini menceritakan perjalanan Rarasantang –adik Walangsungsang yang juga
berkeinginan untuk mempelajari agama nabi –yang menyusul kakaknya
hingga pertemuannya dengan Walangsungsang di Gunung Merapi. Setiap
hari, Rarasantang amat bersedih hati ditinggalkan pergi oleh kakaknya.
Ia terus menerus menangis. Jerit hatinya tak tertahankan lagi hingga
akhirnya ia pun pergi meninggalkan istana Pakuan Pajajaran. Lalu, Prabu
Siliwangi mengutus Patih Arga untuk mencari sang putri. Ia tidak
diperkenankan pulang jika tidak berhasil menemukan Rarasantang. Namun,
usaha Patih Arga sia-sia belaka karenanya ia tidak berani pulang.
Akhirnya, ia mengambil keputusan mengabdi di negeri Tajimalela.
Sementara itu, perjalanan Rarasantang telah sampai ke Gunung
Tangkuban-perahu dan bertemu dengan Nyai Ajar Sekati. Rarasantang
diberi pakaian sakti oleh Nyai Sekati sehingga ia bisa berjalan dengan
cepat. Nyai Sekati memberi petunjuk agar Rarasantang pergi ke gunung
Cilawung menemui seorang pertapa. Di gunung Cilawung, oleh ajar
Cilawung nama Rarasantang diganti menjadi Nyai Eling dan diramal akan
melahirkan seorang anak yang akan menaklukkan seluruh isi bumi dan
langit, dikasihi Tuhan, dan menjabat sebagai pimpinan para wali.
Selanjutnya, Nyai Eling diberi petunjuk agar meneruskan perjalanan ke
Gunung Merapi. Cerita beralih dengan menceritakan Resi Danuwarsi—yang
juga dikenal dengan nama Ajar Sasmita—yang tengah mengajar
Walangsungsang. Sang Danuwarsi mengganti nama Walangsungsang menjadi
Samadullah dan menghadiahi sebuah cincin bernama Ampal yang
berkesaktian dapat dimuati segala macam benda. Ketika keduanya tengah
asyik berbincang-bincang tiba-tiba datanglah Rarasantang yang serta
merta memeluk kakaknya. Di Gunung Merapi, Walangsungsang dinikahkan
dengan putri Danuwarsi yang bernama Indang Geulis. Sesuai dengan
petunuk Resi Danuwarsi, Samadullah beserta istri dan adiknya
meninggalkan Gunung Merapi menuju bukit Ciangkup. Indang Geulis dan
Rarasantang “dimasukkan” ke dalam cincin Ampal.
Pupuh Ketiga Asmarandana, 16 bait.
Di
bukit Ciangkup—tempat bertapa seorang pendeta Budha bernama Sanghyang
Naga—Samadullah diberi pusaka berupa sebilah golok bernama golok Cabang
yang dapat berbicara seperti manusia dan bisa terbang. Setelah
mengganti nama Samadullah menjadi Kyai Sangkan, Sanghyang Naga memberi
petunjuk agar Samadullah melanjutkan perjalanan ke Gunung Kumbang
menemui seorang pertapa yang bergelar Nagagini yang sudah teramat tua.
Nagagini adalah seorang pendeta yang mendapat tugas dewata untuk
menjaga beberapa jenis pusaka: kopiah waring, badong bathok (hiasan
dada dari tempurung), serta umbul-umbul yang harus diserahkan kepada
putera Pajajaran. Atas petunjuk Nagagini, Walangsungsang kemudian
berangkat ke Gunung Cangak. Nagagini memberi nama baru bagi
Walangsungsang, yakni Karmadullah.
Pupuh Keempat Megatru,26 bait.
Ketika
tiba di Gunung Cangak, Walangsungsang melihat pohon kiara yang setiap
cabangnya dihinggapi burung bangau. Walangsungsang bermaksud menangkap
salah seekor burung bangau itu, tetapi khawatir semuanya akan terbang
jauh. Ia teringat akan pusakanya kopiah waring yang khasiatnya
menyebabkan ia tidak akan terlihat oleh siapapun termasuk jin dan
setan. Kopiah Waring segera ia pakai, lalu ia mengambil sebatang bambu
untuk membuat bubu yang dipasang disalah satu cabang kiara. Dalam bubu
itu diletakkan seekor ikan. Burung-burung bangau tertarik melihat ikan
dalam bubu hingga membuat suara berisik dan menarik perhatian raja
bangau (Sanghyang Bango) yang segera mendekati “rakyatnya”. Raja Bango
berusaha mengambil ikan dalam bubu, namun ia terjebak masuk ke dalam
perangkap dan tak dapat keluar, dan akhirnya ditangkap oleh
Walangsungsang. Raja Bango mengajukan permohonan agar tidak disembelih,
dan ia menyatakan takluk kepada Walangsunsang serta mengundangnya
untuk singgah di istananya guna diberi pusaka. Di dalam istana, Raja
Bango berubah menjadi seorang pemuda tampan dan menyerahkan benda
pusaka berupa: periuk besi, piring, serta bareng. Periuk besi dapat
dimintai nasi beserta lauk pauknya dalam jumlah yang tidak terbatas,
piring dapat mengeluarkan nasi kebuli, sedangkan bareng dapat
mengeluarkan 100.000 bala tentara. Sanghyang Bango memberi nama Raden
Kuncung kepada Walangsungsang yang kemudian melanjutkan perjalanan ke
Gunung Jati.
Pupuh kelima Balakbak, 16 bait.
Setibanya
di gunung Jati, Walangsungsang menghadap Syekh Nurjati yang juga
bernama Syekh Datuk Kafi yang berasal dari Mekah, dan masih keturunan
Nabi Muhammad dari Jenal Ngabidin. Lalu, Walangsungsang berguru kepada
Syekh Nurjati dan menjadi seorang muslim dengan mengucapkan syahadat.
Setelah ilmunya dianggap cukup, Syekh Datuk Kafi menyuruh
Walangsungsang untuk mendirikan perkampungan di tepi pantai.
Walangsungsang memenuhi perintah gurunya. Ia pun berangkat menuju Kebon
Pesisir, berikut istri dan adiknya, yang di “masukkan” ke dalam cincin
Ampal. Perkampungan baru yang akan dibukanya kelak dikenal dengan nama
Kebon Pesisir, sedangkan pesantrennya diberi nama Panjunan. Dalam pada
itu, Syekh Datuk Kafi memberi gelar kepada Walngsungsang dengan
sebutan Ki Cakrabumi.
Pupuh keenam Menggalang, 13 bait.
Selanjutnya,
Cakrabumi membuka hutan dengan Golok Cabang. Dengan kesaktian Golok
Cabang, hutan lebat telah dibabat dalam waktu singkat. Ketika goloknya
bekerja membabat hutan, ohon-pohonan roboh dengan mudah, lalu golok
mengeluarkan api dan membakar kayu-kayu hutan sehingga dalam waktu
singkat pekerjaan sudah selesai; sementara Walangsungsang tidur
mendengkur. Hutan yang dirambah cukup luas sehingga pendatang-pendatang
baru tidak perlu bersusah payah membuka hutan. Dalam waktu singkat,
pedukuhan baru itu sudah banyak penduduknya, dan mereka menamakan
Cakrabuwana dengan sebutan Kuwu Sangkan. Kuwu Sangkan sendiri tidak
bertani karena pekerjaannya hanyalah menjala ikan dan membuat terasi.
Jemuran terasi yang dibuatnya membentang ke selatan hingga Gunung
Cangak di tanah Girang. Suatu ketika, ia pulang ke rumahnya yang
terletak di Kanoman, ternyata gurunya, Syekh Datuk Kahfi telah berada
disana.
Pupuh ketujuh Sinom, 24 bait.
Ketika
Syekh Datuk Kahfi menemui Walangsungsang di Kebon Pesisir, ia
menganjurkan supaya Walangsungsang dan adiknya menunaikan ibadah haji
ke Mekah. Walangsungsang mematuhinya. Ia pun berangkat menunaikan
ibadah haji bersama adiknya, Rarasantang. Syekh Datuk Kahfi menitipkan
sepucuk surat untuk sahabatnya, Syekh Bayan dan disarankan agar
Walangsungsan beserta adiknya tinggal di rumah Syekh Bayan selama di
Mekah. Cerita beralih kepada kisah Raja Uttara, seorang raja Bani
Israil yang baru ditinggal mati oleh istrinya. Ia menyuruh patihnya
agar mencari seorang wanita yang parasnya serupa benar dengan
almarhumah permaisurinya. Patih Raja Uttara mengembara ke neger Rum,
Bustam, Syam, Turki, dan Mesir, namun belum juga menemukan wanita yang
diinginkan rajanya. Akhirnya, ia pergi ke Mekah pada saat musim haji.
Ia melihat tiga orang berjalan beriring-iringan. Mereka adalah Syekh
Bayan, Walangsungsang, dan Rarasantang. Sang Patih mengikuti mereka
sampai ke rumahnya. Menurut penglihatannya, Rarasantang mirip sekali
dengan almarhumah permaisuri Mesir. Patih Raja Uttara meminta
Rarasantang utuk menjadi istri Raja Uttara di Bani Israil. Ternyata, ia
bersedia menjadi istri raja Uttara dengan mas kawin sebuah sorban
peningglan Nabi Muhammad SAW.
Pupuh kedelapan Asmarandana, 13 bait.
Ketika
Rarasantang tengah hamil tujuh bulan, ia ditinggalkan suaminya yang
bermaksud mengunjungi negeri Rum menengok pamannya, Raja Yutta. Untung
tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, baru satu hari Raja Uttara
berada di Rum, ia terserang penyakit kolera dan tak tertolong lagi.
Raja Uttara sudah pulang ke rahmatullah. Utusan segera dikirim ke Mesir
untuk memberi kabar Raja Uttara telah meninggal di rum.
Pupuh kesembilan Sinom, 15 bait.
Pupuh
ini menceritakan kesedihan Rarasantang yang ditinggal mati oleh
suaminya, serta kisah kembalinya Walangsungsang ke tanah Jawa.
Kesedihan Rarasantang yang sedang hamil tua itu tak terbayangkan lagi
mendengar kematian suaminya, apalagi masa kehamilannya telah mencapai
usia 12 bulan. Sementara itu, di Mekah, Syekh Bayan dan Walangsunsang
tengah bercakap-cakap tentang rencana kembalinya ke tanah Jawa. Dalam
perbincangan itu, Syekh Bayan berkeinginan untuk turut serta ke pulau
Jawa. Walangsungsang yang telah berganti nama menjadi Abdul Iman
meminta agar Syekh Bayan bersabar dahulu karena Abdul Iman ingin
berkelana mengelilingi daerah Mekah hingga ke desa-desa. Tetapi,
ternyata pengembaraan Walangsungsang telah sampai ke Aceh yang saat itu
sedang terserang wabah penyakit. Permaisuri aceh meninggal karena
terserang wabah penyakit. Ia meninggakan seorang anak perempuan yang
belum diberi nama. Demikian pula Sultan Aceh—yang bernama sultan
Kut—saat itu juga sedang sakit parah. Syekh Abdul Iman berhasil
menyembuhkan Sultan Aceh dan putrinya. Putri Aceh yang masih kecil
kemudian diambilnya menjadi anak angkatnya dan dimasukkan ke dalam
cincin Ampal. Syekh bayan yang menunggu Abdul Iman di Mekah hampir tiga
bulan ternyata belum kembali juga. Ia segera mempersiapkan perahu dan
berangkat sendiri dari pelabuhan Julda ( Jeddah ) menuju Cirebon.
Pupuh kesepuluh Maskumambang, 13 bait.
Dengan
mengucap bismillah, Syekh Bayan memulai pelayarannya meninggalkan
Mekah menuju Cirebon. Sementara itu, Abdul Iman yang kembali ke Mekah
setelah melakukan pengembaraan merasa ditipu oleh Syekh Bayan. Dengan
kesaktiannya, Abdul Iman segera melesat ke Pulau Jawa. Ia menantikan
kedatangan Syekh Bayan di tepi pantai dengan menyamar sebagai pencari
ikan. Syekh Bayan tiba di Cirebon, ia disambut oleh seorang pencari
ikan. Ia bertanya kepada pencari ikan itu di manakah ia bisa menjumpai
syekh Datuk Kahfi. Syekh Abdul Iman yang menyamar sebagai pencari ikan
tidak menjawab pertanyaan syekh Bayan, melainkan ia menjelaskan bahwa
jika Syekh Bayan ingin menjadi orang yang mulia dan menjadi wali,
tunggulah syekh Datuk Kahfi di Gunung Gajah.
Pupuh kesebelas Dangdanggula, 12 bait.
Abdul
Iman melanjutkan perjalanannya mengembara sebagai pencari ikan,
sementara Syekh Bayan pergi ke Gunung Gajah. Di tengah perjalanan,
Abdul Iman teringat kepada gurunya, lalu ia kembali ke Panjunan untuk
menemui gurunya, juga istrinya. Akan tetapi, ternyata gurunya tidak
ada, dan yang ada hanyalah sepucuk surat yang ditinggalkan syekh Datuk
Kahfi. Isi surat itu : jika ingin bertemu dengannya, hendaklah menyusul
ke Pandanjalmi. Ketika ia hendak pergi lagi mengembara, ia menyerahkan
sebuah peti kepada istrinya dengan pesan : “Kelak, jika datang seorang
pemuda dari Mekah, dan tinggal di Gunung Jati, serahkanlah peti itu
kepadanya. Jika anak yang dalam kandunganmu lahir perempuan, berilah
nama Pakungwati. Jika yang lahir laki-laki terserah. Ibu dan anak
hendaklah berguru kepada pemuda yang berasal dari Mekah itu”. Abdul
Iman pergi ke Pandanjalmi dan bertapa di Sendang, dan menamakan dirinya
Ki Gede Selapandan. Ia bertani sambil mengasuh anak angkatnya yang
bernama Nyi Wanasaba. Ketika ia pindah ke Lebaksungsang, anaknya
berganti nama menjadi Nyi Gandasari dan ketika dukuhnya semakin besar,
ia namakan desa Panguragan. Ia percayakan desa itu kepada anaknya, Ratu
Emas Gandasari, yang juga terkenal dengan nama Nyi Gede Panguragan.
Cerita beralih pada kisah kelahiran Syarif Hidayat. Tersebutlah
Rarasantang di Mesir. Ia melahirkan bayi kembar laki-laki: anak pertama
diberi nama Syarif Hidayat, sedangkan anak kedua syarif (Ng)aripin.
Ketika mereka sudah berumur 14 tahun, mereka rajin mempelajari ilmu
agama. Lebih-lebih Syarif Hidayat, segala macam kitab agama ia baca
hingga akhirnya ia membaca sebuah kitab rahasia yang tertulis dengan
tinta emas.
Pupuh keduabelas Sinom, 21 bait.
Setelah
membaca kitab rahasia yang menjelaskan bahwa lamun sira arep luwi,
gegurua ing Mukhamad( jika ingin menjdi manusia istimewa bergurulah
kepada Muhammad ), Syarif Hidayat merasa setengah tidak percaya
terhadap amanat yang tertera dalam buku itu. Namun, dalam setiap
tidurnya, ia selalu bermimpi melihat cahaya yang mengeluarkan suara: e
Syarif Hidayat iki, rungunen satutur isun, lamon sira arep mulya,
nimbangi keramat Nabi, ulatana sira guguru Mukhamad ( Hai Syarif
Hidayat dengarkanlah petunjukku, jika engkau ingin menjadi manusia
mulia sehingga dapat mengimbangi keramat nabi, carilah dan bergurulah
kepada Muhammad ). Dalam hatinya, ia merasa pedih mengenang nasibnya
yang tidak berayah sehingga tidak ada yang dapat menuntun mengkaji
ilmu. Meskipun demikian, hatinya teguh hendak menuruti petunjuk kitab
dan panggilan mimpi. Ia memohon diri kepada ibunya dan sudah tak dapat
dicegah lagi kemauannya. Ia tidak tertarik pada kedudukan sebagai raja.
Syarif Hidayat mulai mengembara mencari Nabi Muhammad. Ia berziarah ke
patilasan Nabi Musa dan Nabi Ibrahim di Mekah, tetapi belum juga
memperoleh petunjuk. Lalu, ia shalat hajat dua rakaat, memuji Tuhan,
membaca shalawat nabi, dan mengucapkan taubat. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke gunung Jambini. Di sana, ia bertemu dengan
Naga Pratala yang menderita sakit bengkak. Sang Naga minta diobati, dan
Syarif Hidayat hanya menjawab : yen lamon isun pinanggi, pasti waras
puli kadi du ing kuna ( jika aku benar-benar dapat bertemu dengan Nabi
Muhammad pastilah engkau sembuh ). Seketika Naga Pratala menjadi
sembuh. Kemudian, ia memberikan sebuah cincin pusaka bernama Marembut
yang berkhasiat dapat melihat segala isi bumi dan langit. Oleh Naga
Pratala, Syarif Hidayat dianjurkan agar pergi ke pulau Majeti (Mardada)
menemui pertapa di sana. Pulau Mardada dihuni oleh binatang buas dan
berbisa yang sedang menjaga sebuah keranda biduri. Di sebuah cabang kay
yang tinggi, Syarif Hidayat melihat ada seorang pemuda bernama Syekh
Nataullah sedang bertapa. Pemuda itu menjelaskan bahwa tidak ada
harapan untuk menemui orang yang sudah tiada, lebih baik berusaha
mendapatkan cincin Mulikat yang berada di tangan Nabi Sulaiman. Ia
menjelaskan bahwa barang siapa memiliki cincin Mulikat, ia akan
menguasai seisi langit dan bumi, serta dihormati oleh umat manusia.
Syarif Hidayat kemudian mengajak Syekh Nataullah bersama-sama mengambil
cincin tersebut.
Pupuh ketigabelas Kinanti, 30 bait.
Ketika
Syarif Hidayat berada di makam Nabi Sulaeman, jenazah Nabi Sulaeman
seolah-olah hidup dan memberikan cincin Mulikat kepadanya. Syekh
Nataullah mencoba merebut cincin tersebut, tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba meledaklah petir dari mulut Nabi Sulaeman sehingga yang
sedang mengadu tenaga memperebutkan cincin tersebut terlempar. Syekh
Nataullah melesat jatuh di pulau jawa, sedangkan Syarif Hidayat jatuh
di Pulau Surandil. Cerita dalam pupuh ini diselingi oleh kisah
Rarasantang yang merindukan Syarif Hidayat. Sudah sepuluh tahun
Rarasantang ditinggal putranya. Ia selalu berdoa agar anaknya mendapat
lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiba-tiba, ia mendengar suara, ujarnya
: wondening anakira iku, waruju kang dadi aji, Banisrail kratonira,
nama Sultan Dul Sapingi, mung kang dadi lara brangta, amung putranipun
Syarip, lamon eman maring siwi, balik angungsiyang Jawa, lamon arep ya
pinanggi ( Anakmu yang muda itu akan menjadi raja, keratonnya di
Baniisrail, bergelar Abdul Sapingi. Jika engkau benar-benar merindukan
anakmu Syarip Hidayat, sebaiknya kembalilah engkau ke Pulau Jawa.)
Akhirnya, Rarasantang kembali ke Pulau Jawa menantikan anaknya di
Gunung Jati menuruti pesan Syekh Datuk Kahfi. Cerita kembali ke Syarif
Hidayat yang jatuh di Gunung Surandil. Di sana, ia melihat sebuah kendi
berisi air sorga yang sangat harum baunya. Kendi itu mempersilahkan
Syarif Hidayat meminumnya. Karena ia hanya menghabiskan setengahnya,
kendi itu meramalkan bahwa kesultanan yang kelak akan didirikan olehnya
tidak akan langgeng. Meskipun kemudian air kendi itu dihabiskan, namun
yang langgeng hanyalah negaranya, bukan raja-rajanya. Setelah berkata
demikian, kendi itu pun lenyap. Syarif Hidayat kemudian bertemu dengan
Syekh Kamarullah. Atas anjurannya, Syekh Kamarullah pergi ke Jawa dan
menetap di gunung Muriya dengan gelar Syekh Ampeldenta. Dengan demikan,
sudah empat orang syekh dari Mekah yang tiba di tanah Jawa.
Pupuh keempatbelas Sinom, 28 bait.
Suatu
ketika, Nabi Aliyas ( Ilyas ) menyamar sebagai seorang wanita pembawa
roti. Ia menawarkan kepada Syarif Hidayat bahwa rotinya adalah roti
sorga, dan barang siapa yang memakan roti itu, ia akan mengerti
berbagai macam bahasa Arab, Kures, Asi, Pancingan, Inggris, dan Turki.
Nabi Aliyas juga memberi petunjuk bahwa jika hendak mencari Muhammad
ikutilah seseorang yang menunggang kuda di angkasa, dialah Nabi Khidir
yang dapat memberi petunjuk. Wanita pemberi petunjuk itu hilang
seketika dan tiba-tiba di angkasa tampak seorang penunggang kuda.
Syarif Hidayat melesat ke angkasa lalu membonceng di ekor kuda. Nabi
Khidir—penunggang kuda—menyentakkan kudanya hingga Syarif Hidayat
terpelanting dan jatuh di negeri Ajrak di hadapan Abdul Sapari. Abdul
Sapari memberinya dua butir buah kalam muksan; sebuah dimakan habis
oleh Syarif Hidayat dan terasa manis sekali, sementara sebuah lagi
disimpan untuk lain waktu. Abdul Sapari menyatakan bahwa tindakan itu
menjadi pertanda bahwa kelak akan timbul tantangan-tantangan di saat
Syarif Hidayat menjadi sulltan. Tidak demikian halnya jika dua buah itu
dihabiskan sekaligus. Akhirnya, buah Kalam Muksan yang sebuah lagi
segera dimakan, namun rasanya sangat pahit dan sangat menyakitkan
seperti sakitnya orang menghadapi sakratul maut. Ia pingsan seketika.
Abdul Sapari segera memanggil patih Sadasatir untuk memasukkan Syarif
Hidayat ke bubungan mesjid. Dari situ, Syarif Hidayat mikraj ke langit.
Dalam perjalanan mikraj, pertama kali ia sampai di pintu dunia dan
melihat orang-orang yang mati sabil serta mukmin yang alim dan kuat
beribadat. Di langit kedua, ia bertemu dengan roh-roh wanita yang setia
dan patuh pada suami. Di langit ketiga, ia bertemu dengan Nabi Isa
yang menghadiahkan nama Syarif Amanatunggal. Di langit keempat, ia
bertemu dengan ribuan malaikat yang dipimpin oleh Jibril, Mikail,
Israfil, dan Izrail. Para pemimpin malaikat juga memberinya nama,
antara lain, Malaikat Jibril memberi nama Syekh Jabar, Mikail memberi
nama Syekh Surya, Israfil memberi nama Syekh Sekar, dan Izrail
memberinya nama Syekh Garda Pangisepsari. Di langit kelima, ia bertemu
dengan ribuan nabi, antara lain, Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa.
Mereka juga menghadiahi nama baru bagi Syarif Hidayat. Nabi Adam
memberi nama Syekh Kamil, Nabi Ibrahim memberi nama Saripulla, dan Nabi
Musa memberi nama Syekh Marut. Selanjutnya, Syarif Hidayat melihat
neraka, dinding jalal, dan meniti sirotol mustakim. Akhirnya, ia tiba di
langit ketujuh dan melihat cahaya terang benderang.
Pupuh kelimabelas Kinanti, 26 bait.
Di
langit ketujuh Syarif Hidayat “bertemu” dengan Nabi Muhammad yang
sedang tafakur. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia sudah meninggal.
Karena itu, ia tidak boleh mengajar umat manusia. Apalagi karena di
dunia sudah ada wakilnya, yakni para fakir, haji, kitab Al qur’an,
puji-pujian, dan segala macam ilmu telah lengkap di dunia. Akan tetapi,
Syarif Hidayat berkeras tak mau berguru pada aksara. Ia ingin
mendengar penjelasan langsung dari Nabi Muhammad, terutama tentang
makna asasi kalimat syahadat dan perbedaannya dengan zikir satari. Nabi
Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Syarif Hidayat dan
menganugerahkan jubah akbar. Syarif Hidayat diperintahkan agar pergi ke
tanah Jawa, dan berguru kepada Syekh Nurjati di Gunung Jati, serta
tetap memelihara dan menjaga syareat. Syarif Hidayat lalu turun dari
langit ketujuh ke puncak Mesjid Sungsang di Ajrak dan kembali ke Gunung
Jati. Di sana, ia bertemu dengan bundanya yang sudah menjadi pertapa
wanita bernama Babu Dampul, sedangkan Syekh Nurjati telah pindah ke gua
Dalam.
Pupuh keenambelas Sinom, 27 bait.
Syekh
Nurjati berusaha menghindari pertemuan dengan Syarif Hidayat. Ketika
tamunya datang, ia meninggalkan sepucuk surat dan meminta agar Syarif
Hidayat menyusul ke Gunung Gundul. Ia segera menyusul ke Gunung Gundul,
tetapi Syekh Nurjati pergi ke Gunung Jati. Akhirnya, atas petunjuk
cincin Marembut, ia mencegatnya di tengah jalan. Keduanya mendiskusikan
ilmu agama. Syekh Nurjati memberi nama syarif Hidayat denga nama
Pangeran Carbon, dan kelak jika sudah menjadi sultan bergelar Sultan
Jatipurba. Selesai mengutarakan pesan-pesannya, Syekh Nurjati lenyap
dan tidak pernah muncul lagi sebagai Syekh Nurjati melainkan sudah
bernama Pangeran Panjunan atau Syekh Siti Jenar, dan bergelar Sunan
Sasmita. Dengan perantaraan cincin Marembut, Syarif Hidayat melihat ke
mana sebenarnya kepergian Syekh Nurjati. Kemudian, ia menjumpai ibunya
di Gunung Jati, dan pergi ke Gunung Muria hendak menemui Syekh
Kamarullah yang bergelar Syekh Ampeldenta. Saat itu, Syekh Kamarullah
sedang memberi wejangan kepada murid-muridnya agar dengan
sungguh-sungguh mencari arti dan makna kalimah syahadat. Pangeran
Kendal disuruh bertapa membisu, Pangeran Makdum disuruh tidur di tepi
pantai, dan Pangeran Kajoran harus bertapa menentang matahari. Setelah
murid-muridnya pergi, datanglah Syarif Hidayat. Lalu, keduanya
mendiskusikan ilmu agama. Atas anjuran Syekh Ampeldenta, pergilah
Syarif Hidayat ke Gunung Gajah menemui Syekh Bayanullah yang berasal
dari Mekah.
Pupuh ketujuhbelas Amarandana, 48 bait.
Di
Gunung Gajah, Syekh Bayanullah ternyata telah berganti nama menjadi
Pajarakan. Tetapi, saat ia menanam jagung, namanya menjadi Syekh Jagung
atau Syekh Majagung, atau Ki Dares jika sedang enau. Suatu ketika, Ki
Dares tengah bersenandung seraya memahat enau, datanglah Syarif
Hidayat. Ki Dares kagum melihat keampuhan kalimah syahadat yang
diucapkan oleh Syarif Hidayat yang dapat merontokkan buah pinang dan
mengubahnya menjadi emas, dan ia berkeinginan untuk berguru kepadanya.
Syarif Hidayat melanjutkan perjalanannya ke Nusakambangan untuk menemui
Syekh Nataullaah yang telah bergelar Syekh Damarmaya yang mengamalkan
ilmu makdum sarpin; siang malam terus menerus mandi dan tak pernah
tidur seolah-olah airlah yang menjadi tumpuan harapan. Syarif Hidayat
tiba di sana lalu membaca syadat serta merta air sungai tempat mandi
Syekh Nataullah lenyap. Syarif Hidayat menyarankan kepada Syekh
Damarmaya apabila ingin mengetahui makna syahadat datanglah ke Cirebon,
kelak di waktu para wali berkumpul. Lalu, Syarif Hidayat melanjutkan
perjalanannya menemui Pangeran Kendal yang sedang bertapa membisu—siang
malam berjalan sepanjang jalan tanpa berkata-kata. Seperti halnya
ketika bertemu Syekh Damarmaya, Syarif Hidayat menjelaskan sekelumit
ilmu kepada Pangeran Kendal dan menganjurkan supaya pergi ke Cirebon.
Giliran selanjutnya mendatangi Pangeran Makdum yang sedang bertapa
denga tidur di pantai serta pergi ke Madura menemui Pangeran Kajoran
yang sedang bertapa dengan menentang matahari. Semua pertapa yang
ditemuinya diundang ke Cirebon. Sebelumnya mereka menemui Syekh Ampel
di Gunung Muria. Cerita beralih pada kisah seorang raja di negara
Atasangin yang masih beragama Budha. Ia telah mengetahui akan
kedatangan Syarif Hidayat. Sebelum tamunya datang, ia beserta negaranya
menghilang ke dasar laut. Syarif Hidayat kemudian meneruskan
perjalanan dan bertemu dengan putra mahkota Keling sedang melarung
jenazah ayahandanya. Atas anjurannya, jenazah Raja Keling kemudian
dimandikan dan dikubur. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanan untuk
kembali ke Mesir.
Pupuh kedelapanbelas Dangdanggula, 25 bait.
Ketika
Syarif Hidayat tiba di Mesir, ia diminta oleh adiknya, Syarif Arifin,
untuk memangku jabatan sebagai Raja Mesir. Tetapi, ia tidak mau menjadi
raja. Ia tetap memilih sebagai ulama. Ia hanya meminta kepada adiknya
seorang kemenakannya yang bernama Pulunggana untuk diajak berkelana.
Dari Mesir, Syarif Hidayat pergi ke Rum mengunjungi pamannya, Raja
Yutta, lalu ke negeri Cina dan mengabdikan dirinya pada raja Cina. Raja
Cina mempunyai seorang putri yang teramat cantik bernama Ratna Gandum
yang jath cinta kepada Syarif Hidayat. Ketika Syarif Hidayat hendak
pulang ke Pulau Jawa, Ratna Gandum berniat mengikutinya, tetapi
dilarang oleh orang tuanya. Meskipun demikian, ia memaksa dan akhirnya
melarikan diri mengikuti Syarif Hidayat. Keduanya selamat sampai di
Pulau Jawa dan menetap di Gunung Jati. Sejak saat itu, Gunng Jati
semakin ramai sebagai pusat agama islam. Tersebutlah Nyi Indang Geulis
di Kebon Pesisir. Ia memiliki seorang anak perempuan bernama Pakungwati
yang sudah menginjak remaja dan teramat cantik. Berita tentang wali
yang berasal dari Mekah yang bermukim di Gunung Jati mengingatkan
Indang Geulis akan pesan suaminya. Ia segera bersiap-siap pegi ke
Gunung Jati beserta anaknya. Tak lupa pula, ia membawa kendaga yang
ditinggalkan suaminya. Sebelum Nyi Indang Geulis tiba di Gunung jati,
terlebih dahulu telah datang tamu dari Gunung Muria, yakni Syekh
Ampeldenta beserta murid-muridnya. Tujuan utamanya adalah membicarakan
penyerangan terhadap negara Majapahit yang masih beragama Budha.
Semuanya sepakat dengan rencana itu. Menyusul kemudian Nyi Indang
Geulis bersama Nyi Pakungwati. Ia menyerahkan kendaga kepada Syarif
Hidayat yang ternyata isinya sorban dan surat dari uaknya,
Walangsungsang. Akhirnya, Syarif Hidayat menikah dengan Pakungwati dan
mulailah pembangunan negara ( kota) Cirebon yang dimulai dengan
pembangunan alun-alun dan istana yang kemudian terkenal dengan nama
istana Pakungwati.
Pupuh Kesembilanbelas Asmarandana, 18 bait.
Pupuh
ini menceritakan kisah Sunan Kalijaga sebagai kisah selingan dalam
cerita Sunan Gunung Jati. Sunan Kalijaga adalah anak Dipati Tuban,
Suryadiwangsa. Ia adalah anak tunggal yang telah menjadi yatim piatu
sejak menjelang masa akil-baligh. Nama kecilnya adalah Nurkamal. Ia
bercita-cita ingin menjadi manusia yang terpuji dan mulia. Setiap hari,
ia membagi-bagikan sedekah kepada para menteri dan seluruh rakyatnya.
Sedekahnya dibagikan tanpa pilih bulu, penjudi, pemadat, pemabuk, da
para pelaku perbuatan maksiat, semuanya boleh ikut menghabiskan
hartanya. Suatu ketika, uang dan hartanya sudah habis ketika Nurkamal
harus menyelenggarakan selamatan 1.000 hari kematian orang tuanya. Ia
memanggil Patih Sutiman dengan maksud menggadaikan negeri Tuban kepada
Patih Sutiman seharga 2.000 dinar. Akhirnya, negara dan rumah Kadipaten
sudah digadaikan. Itu berarti, ia sudah tidak mempunyai rumah lagi,
dan ia berniat untuk bersedekah di pasar. Di pintu gerbang, Nurkamal
bertemu dengan kakek-kakek yang mempunyai dongeng berharg yang dapat
menuntun manusia menuju kemuliaan. Nurkamal bingung sejenak; jika
dongeng dibeli, ia urung sedekah. Jika bersedekah, ia akan kehilangan
jalan kemuliaan. Akhirnya, ia memilih jalan kemuliaan. Nurkamal
menyetujui untuk membeli dongeng si Kakek seharga 2.000 dinar. Mulailah
si Kakek mendongeng yang berintikan empat hal : Pertama, jangan suka
membuka rahasia orang lain; kedua, jangan menolak rezeki; ketiga, jika
mengantuk jangan lekas-lekas tidur; dan keempat, jika mendapat istri
yang cantik jangan tergesa-gesa menidurinya. Si Kakek juga memberi
sebuah baju tambal yang bernama si Gundhil yang berkhasiat dapat
berjalan dengan cepat di angkasa dan memberi nama Nurkamal dengan
sebutan syarif Durakhman. Lalu, Durakhman pergi ke Kerajaan rawan, dan
mengabdi pada Adipati Urawan.
Pupuh keduapuluh Pangkur 26 bait,
Adipati
Urawan sangat sayang kepada Syarif Durakman.Suatu hari, ia di ajak
berburu ke hutan,tetapi senjata Sang Adipati Urawan tertinggal di
istana. Durakman di suruh mengambil senjatanya. Ketika ia tiba di
kadipaten, ia melihat istri adipati sedang bermesraan dengan Raden
Turna, anak Patih Judipati. Durakman segera kembali ke hutan dengan
membawa tombak Sang Adipati. Istri adipati yang takut rahasianya
terbongkar segera menyusul suaminya ke hutan dengan kereta. Lalu,
mengadukan bahwa Durakman telah berlaku tidak senonoh kepada dirinya.
Tanpa pikir panjang, Adipati Urawan menulis sepucuk surat kepada Patih
Judipati yang isinya bahwa orang yang membawa surat harus di bunuh.
Jika tidak, Patih Judipati sendiri yang di penggal kepalanya. Adipati
Urawan menjelaskan pada istrinya –Dewi Srigading–bahwa Durakman akan di
bunuh oleh Patih Judipati. Dalam perjalanan, Durakman bertemu dengan
Raden Turna. Keduanya berjalan bersama ke kepatihan. Di tengah
perjalana, kebetulan ada orang yang melakukan hajatan dan meminta
Durakhman untuk mencicipi makanan yng dihidangkan. Durakhman teringat
pada dongeng si Kakek bahwa tidak boleh menolak rejeki sehingga ia pun
singgah dan ikut berkenduri. Raden Turna tidak sabar menunggu kenduri
sehingga, secara diam-diam, ia mengambil surat untuk ayahnya. Ia
tinggalkan Durakhman dan segera menyampaikan surat tersebut kepada
ayahnya. Setelah membaca isi surat, terpaksa Patih Judipati menuruti
isi surat itu : kepala anaknya segera ia penggal dan Raden Turna
meninggal seketika. Tidak lama kemudian, Durakhman tiba di rumah Patih
Judipati yang menyatakan diutus sang Adipati untuk mengambil mayat
Raden Turna. Adipati Urawan terkejut melihat kedatangan Durakman yang
membawa mayatTurna. Durakman lalu menceritakan pengalamannya membeli
dongeng seharga 2.000 dinar. Sang Adipati sadar akan apa yang terjadi,
dan memberi petunjuk kepada Durakman supaya mengabdi pada seorang raja
perempuan di negeri Diriliwungan.
Pupuh keduapuluh satu Dangdanggendis, 25 bait.
Di
negeri Diriliwungan, Durakman tersesat ke puri di belakang istana.Di
sana, ia melihat banyak kuburan. Kedatangan Durakman diketahui oleh
para penjaga. Lalu ia ditangkap dan dihadapkan pada Ratu Diriliwungan.
Ia akan dibebaskan asal bersedia kawin dengan Sang Ratu. Akhirnya,
Durakman bersedia menikahinya. Di malam hari, ketika akan tidur
Durakman teringat kembali akan dongeng si Kakek bahwa istri yang cantik
jangan segera ditiduri. Karenanya, cumbu rayu istrinya tidak ia
hiraukan bahkan ia pura-pura tidur. Ratu Diriliwungan merasa kesal dan
sangat lelah sehingga akhirnya tertidur, sementara Durakman hanya duduk
termangu.Tiba-itba dari aurat Ratu Diriliwungan keluar seekor kelabang
putih menyerang Durakman namun berhasil ditangkap dan dibanting ke
lantai. Seketika, kelabang itu berubah wujud menjadi sebilah keris yang
dinamakan keris Kalamunyeng–di kemudian hari, keris ini menjadi pusaka
raja-raja Jawa. Keesokan harinya, rakyat Diriliwugan berkumpul denga
membawa keranda. Ketika ditanya oleh Durakman, mereka menjawab bahwa
setiap orang yang menikah dengan Ratu Diriliwungan, keesokan harinya
pasti meninggal. Sementara itu, Ratu Diriliwungan bersumpah setia
kepada Durakman, dan ia memilih menceburkan diri ke laut yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ratu Kidul. Adapun Durakman melanjutkan
perjalanan mencari ilmu ke Ampel. Syekh Ampeldenta yang mengetahui
bahwa tamunya merupakan calon wali penutup tidak berani menerima
sembahnya, bahkan mengajar pun ia tidak berani. Ia hanya memberi
petunjuk jalan ke arah kesempurnaan. Durakman dianjurkan supaya menjadi
perampok di hutan Japura dengan nama Lokajaya dan membunuh setiap
orang yang melewati hutan Japura. Tersebutlah Ki Paderesan atau Ki
Dares di Gunung Gajah hendak pergi ke Cirebon mencari guru agama Islam
bersama-sama istrinya, Nyi Mukena. Suami-istri itu berjalan melewati
hutan Japura dan bertemu dengan Lokajaya yang segera menghadangnya.
Dalam ketakutannya, suami-istri itu tidak putus-putusnya berdoa memohon
ampunan Allah sehingga ketika pedang Lokajaya bertubi-tubi
menghantamnya ternyata tidak mempan. Akhirnya, Lokajaya memohon ampun
kepada Ki Dares dan meminta brguru kepadanya. Oleh Ki Dares, Lokajaya
lalu dikubur hidup-hidup dengan tujuan agar tubuh Lokajaya bersih dari
segala dosa. Pada waktu yang hampir bersamaan, di keraton Majapahit,
Raja Brawijaya sedang menerima kedatangan dua orang putranya dari
Palembang : Raden Patah dan Raden Husen. Raden Husen diangkat menjadi
Adipati Terung, sementara Raden Patah dinasehati supaya bersabar dan
diharapkan kelak akan menjadi raja.
Pupuh keduapuluh dua Sinom, 9 bait.
Raden
Patah merasa sakit hati karena ia tidak diangkat menjadi adipati. Ia
pun pergi ke Ampel guna menghadap Syekh Ampeldenta untuk berguru
kepadanya. Dalam pada itu, sudah tiga kali Ampel mencoba menyerang
Majapahit, tetapi selalu gagal dan banyak korban berjatuhan dihajar
oleh Adipati Terung. Karena itu, Syekh Ampel mencari orang yang berani
melawa Adipati Terung. Barangsiapa dapat mengalahkan Majapahit, ia akan
diangkat menjadi raja. Raden Patah bersedia memimpin pasukan islam
untuk menyerang Majapahit. Ia lalu diangkat menjadi Adipati Bintaro,
sekaligus menjadi senopati.
Pupuh keduapuluh tiga Kinanti, 14 bait.
Cerita
kembali ke Ki Dares. Setelah beberapa lama, Ki Dares kembali ke hutan
Japura untuk menggali Lokajaya. Ternyata, tubuh Lokajaya seperti mati
dan beratnya seringan kapas. Sebenarnya , ia sedang’Mikraj’ menemui roh
Nabi ( Muhammad). Ia telah mendapat kesempurnaan dan bergelar Sunan
Kali. Ketika Sunan Kali telah sadar, Ki Dares menganjurkan agar Sunan
Kali mencari Sunan Jati. Syarif Hidayat yang sudah mengetahui
kedatangan Sunan Kali menyongsong kedatangan tamunya dengan menyamar
sebagai seorang haji. Lalu, dengan berpura-pura hendak menyampaikan
sesuatu kepada Syarif Hidayat, ia menemui Sunan Kali yang di suruhnya
menunggu di pintu gerbang istana. Setelah meninggalkan tamunya di pintu
gerbang, Syarif Hidayat langsung berangkat ke Pajajaran.
Pupuh keduapuluh empat Sinom, 14 bait.
Pupuh
ini menceritakan proses pengislaman keraton Pajajaran oleh Sunan Jati.
Dicertakan bahwa Prabu Siliwangi masih bersedih hati karena semua
putranya meninggalkan istana, bahkan pati yang ditugasi mencarinya pun
tidak kembali ke kerajaan. Berkat kesaktiannya, Prabu Siliwangi
mengetahui kedatangan cucunya, Sunan Jati. Dalam hatinya, ia merasa
malu kalau sampai tunduk kepada cucunya. Dengan kesaktian pusakanya,
sebilah Ecis, ia berjalan ke tengah alun-alun dan membaca mantra aji
sikir, lalu pusaka Ecis ditancapkan ke tanah. Seketika, negara dan
rakyat Pajajaran lenyap yang tertinggal hanyalah sebuah balai. Pusaka
Ecis berubah pula menjadi rumput ligundi hitam. Syarif Hidayat yang
datang kemudian menyebut orang-orang Pajajaran yang bersembunyi di
hutan seperti harimau. Seketika itu juga, orang-orang Pajajaran berubah
menjadi harimau. Selama rumput ligundi hitam belum di cabut, mereka
belum akan menjadi manusia. Lalu, Syarif Hidayat pergi ke Lebaksungsang
menemui Cakrabuana yang sedang bertapa sambil bersawah. Cakrabuana
diminta pulang ke Cirebon menghadiri pertemuan para wali. Lalu, ia
pergi ke Mengajang menemui Syekh Bentong yang sebenarnya adalah putra
Raja Majapahit bernama Banjaransari yang lebih di kenal dengan nama
Jaka Tarub.
Pupuh keduapuluh lima Kinanti, 28 bait.
Jaka
Tarub telah berhasil membuka hutan Penganjang, dan menikah dengan
seorang bidadari. Putrinya, Nawangsari, juga sudah menikah dengan putra
Majapahit, Raden Bondan, yang ikut mengerjakan ladangnya. Jaka Tarub
alias Ki Bentong ingin sekali menjadi wali. Ia bertapa memati raga.
Pada suatu saat, ketika tengah berbuka dari tapanya, Syarif Hidayat
datang menjumpainya. Ucapan salam dari Syarif Hidayat tidak dihiraukan
karena asyiknya berbuka. Tiba-tiba, Syarif Hidayat memetik selembar
daun api-api, lalu membaca syahadat, seketika terciptalah seekor bebek
yang kemudian merebut makanan Syekh Bentong hingga habis. Saking
marahnya, bebek itu dipukul dan dibanting hingga mati oleh Syekh
Bentong. Syarif Hidayat meminta agar bebeknya dihidupkan kembali,
tetapi Syekh Bentong tidak mampu melakukannya.Dengan membaca syahadat,
Syarif Hidayat dapat menghidupkan kembali bebeknya. Akhirnya, Syekh
Bentong sadar bahwa kalimat syahadat itulah yang ia cari. Lalu, ia
menyatakan ingin berguru kepadanya, tetapi oleh Syarif Hidayat hanya
dianjurkan supaya pergi ke Cirebon. Cerita kembali kepada Durakhman
yang tengah menunggu panggilan Sunan Jati. Sudah sembilan bulan ia
menanti di pintu gerbang tanpa tidur sekejappun. Jika merasa lelah
duduk, ia berdiri membungkukkan badan. Jika merasa lelah berdiri, ia
pun duduk bersandar di gerbang. Itulah sebabnya di depan istana Cirebon
terdapat sebuah tempat yang dinamakan Lemahwungkuk. Syarif Hidayat
yang kemudian datang menemuinya menyatakan tidak mau mengajar di
sembarang tempat karena pelajaran akan diberikan di tepi sebuah sungai,
dan Durakhman harus membawa 100 buah kemiri untuk menghitung ilmu.
Lalu, Durakhman berangkat ke tepi sungai. Beberapa waktu lamanya ia
menunggu, Syarif Hidayat belum juga datang. Karena lamanya menunggu di
sungai, Durakhman memanjat pohon itu. Belum sampai setengah batang,
kemirinya berjatuhan ke sungai. Ia berusaha menyelam ke dalam air,
tetapi kemiri tak ditemukannya. Ketika tengah meraba-raba buah kemiri,
tiba-tiba datang air bah, dan Durakhman hanyut terbawa air hingga ke
laut dan tenggelam ke dasarnya. Di dasar laut, ia melihat sebuah pulau
yang cemerlang dengan hiasan aneka warna yang dikenal dengan nama Pulau
Hening.
Pupuh keduapuluh enam Balakbak, 22 bait.
Di
Pulau Hening, Durakhman bertemu dengan Nabi Kilir (Nabi Khidir) yang
menasehatinya agar bertapa di Gunung Dieng. Nabi Kilir memberi bekal
sebuah pisau. Ketika Durakhman tengah bertapa, tangannya mencoret-coret
tanah membuat gambar-gambar yang tersusun menjadi sebuah cerita
wayang. Gambar-gambar wayang di tanah itu ternyata lepas menjadi
wayang-wayang yang dapat melakonkan segala macam cerita. Setelah
wayang-wayang tersebut lengkap, tiba-tiba ada cahaya gemerlapan. Pisau
di tangan Durakhman seketika lenyap dan sebagai gantinya tampak seorang
pertapa. Ternyata, pertapa itu adalah seorang raja zaman Budha bernama
Konteya Darmakusuma atau Judhistira. Waktu itu, ia belum bernama
Samiaji. Dialah yang dulu memiliki azimat Kalimasada. Judhistira
menceritakan seluruh cerita wayang kepada Durakhman. Terakhir, ia
menyerahkan Surat Kalimasada yang selama dipegangnya belum pernah ia
baca karena tidak dapat membaca apa yang tertulis didalamnya. Durakhman
kemudian membaca Surat Kalimasada diikuti oleh Konteya Darmakusuma.
Sejak saat itu, Judhistira bernama Samiaji karena sama-sama mengkaji
Surat Kalimasada dengan Durakhman. Dengan nama Samiaji, berarti pula ia
menjadi pemeluk agama islam. Lalu, Durakhman meminta agar Samiaji
pergi bersama ke Gunung Jati. Samiaji belum bersedia, tetapi ia
berjanji suatu saat akan datang ke Cirebon apabila Gunung Jati
memancarkan sembilan cahaya.
Pupuh keduapuluh tujuh Durma, 33 bait.
Cerita
kembali ke keraton Majapahit. Ketika itu, Raja Brawijaya mengutus
Adipati Terung untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit karena
Brawijaya berniat menyerahkan tahta kepadanya. Adipati Terung berusaha
mencari Raden Patah sampai ke bonang, tetapi Raden Patah tidak mau
pergi ke Majapahit sebelum rajanya masuk islam. Adipati Terung terus
memaksa, sementara Raden Patah tetap bertahan. Akhirnya, tidak ada
jalan lain kecuali mempersiapkan pasukan untuk berperang. Para Bupati
Tuban, Tegal, Waleri, Lumajang, dan Japan yang diharapkan membantu
Majapahit ternyata tidak ada yang bersedia. Semuanya berpihak kepada
para wali. Tinggal Adipati Terung seorang yang memimpin tentara
Majapahit. Meskipun demikian, dalam peperangan yang berlangsung,
pasukan Bonang tidak mampu melawan pasukan Majapahit.
Pupuh keduapuluh delapan Pangkur, 11 bait.
Adipati
Terung—dengan menggenggam keris pusaka si Gagak—maju ke medan perang.
Tak seorangpun tentara Bonang yang berani melawan Adipati Terung.
Demikian pula Raden Patah, ia pun kalah dan terlempar ke Gunung
Kumbang.
Pupuh keduapuluh sembilan Dangdanggula, 17 bait.
Raden
Patah yang terlempar ke Gunung Kumbang bertapa disana tujuh bulan
lamanya. Kemudian, ia mendapat petunjuk Tuhan bahwa untuk mengalahkan
Adipati Terung ia harus berguru kepada Sunan Jatipurba di Cirebon
sebagai Puseurbumi. Ia pun segera berangkat menuju ke sana. Di Losari,
ia bertemu dengan seorang tua yang memberinya sebuah panah bernama si
Hantu. Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Jati. Dalam peperangan
yang berlangsung kemudian, Raden Patah berhasil membunuh adiknya
sendiri, Adipati Terung dengan panah Hantu.
Pupuh ketigapuluh Sinom, 22 bait.
Meskipun
panglima perangnya telah gugur, raja dan para pembesar Majapahit tetap
tidak mau memeluk agama islam. Panembahan Paluamba membaca aji sikir
yang berakibat raja serta para pembesar Majapahit menghilang ke dunia
siluman, dan berkumpul di Tunjungbang. Cerita kembali pada kisah para
wali yang tengah berkumpul di Bonang mereka sepakat untuk menemui
Syarif Hidayat di cirebon. Disana, Raden Patah diresmikan menjadi raja
di Bintaro, dan dinikahkan dengan kemenakan sunan Jati yang berasa dari
Mesir, Nyi Mas Ratu Pulunggana. Setelah pertemuan tersebut, para wali
seluruhnya kembali ke Demak untuk merayakan penobatan dan pernikahan
Raden Patah. Sementara itu, durakhman yang telah menyelesaikan tapanya
di Gunung Dieng langsung pergi ke Cirebon. Segala sesuatu yang
diperolehnya di Dieng ia bawa. Setibanya di istana, ternyata baru saja
para wali meninggalkan cirebon menuju Demak. Tetapi, baru saja ia
beranjak pergi, terdengar suara mempersilahkan duduk yang keluar dari
meja dan kursi, tanpa seorangpun. Tak lama kemudian, keluar teko serta
cangkir mempersilahkan minum. Agak bingung juga Durakhman menyaksikan
semua itu. Akhirnya, ia duduk saja menunggu disana selama sembilan
malam.
Pupuh ketigapuluh satu Asmaranda, 19 bait.
Pupuh
ini menceritakan pertemuan para wali di Cirebon. Ketika Sunan Gunung
Jati baru kembali dari Mekah, ia membawa batu Mukadas dan peta kota
Mekah untuk dijadikan contoh pembuatan masjid agung. Bersamaan dengan
itu, para wali pun berdatangan ke Cirebon. Ketika melihat Syarif
Hidayat, Pangeran Tuban bermaksud menyembahnya, tetapi Syarif Hidayat
justru segera memeluk Durakhman. Pangeran tuban alias Durakhman, lalu
menyerahkan Surat Kalimusada yang ternyata bunyinya sama dengan Kalimat
Syahadat. Selain itu, diserahkan pula sebuah kitab kepada Sunan Jati
yang di dalamnya tidak terlihat adanya tulisan, bahkan para wali pun
tidak ada yang dapat melihat selain Pangeran Tuban. Kitab tersebut
ternyata berisi ketentuan pangkat dan sebutan para wali. Menurut kitab
tersebut, Syarif Hidayat bergelar Kanjeng Sinuhun Cirebon; Syekh Giri
Gajah bergelar Sultan Giri Gajah; Syekh Kamarullah bergelar Kanjeng
Sunan Bonang; Ki Cakrabuana bergelar Sunan Jelang, Syekh Bentong
bergelar Suhunan Bentong; Syekh Nusakambangan bergelar Sunan Kudus;
Pangeran Kendal bergelar Pangeran Karangkendal atau Sunan Kedaton;
Pangeran Panjunan bergelar Sunan Sasmita; Pangeran Kajoran bergelar
Sunan Kejamus atau Pangeran Kejaksan; dan wali penutup Suhunan Kalijaga
bergelar Suhunan Adi. Pada kesempatan itu, para wali membuat
singgasana kerajaan dan masing-masing mengeluarkan ilmunya berupa
cahaya sehingga berpencaran sembilan macam cahaya yang memancar sampai
ke gunung Dieng—mengingatkan pada janji Samiaji yang akan segera datang
ke Cirebon bila ada sembilan cahaya bersinar. Ternyata, Samiaji tidak
bersedia menerima sembah para wali. Tak lama kemudian, ia meninggal dan
dikebumikan di Jatimulya.
Pupuh ketigapuluh dua Sinom, 18 bait.
Seorang
murid syarif Hidayat bernama Ki Gedeng Palumbon sudah tiga tahun
belajar agama islam, namun merasa bosan karena berulang kali ia hanya
hanya disuruh menghafal kalimat syahadat. Akhirnya, ia mengundurkan
diri karena kecewa terhadap pelajaran yang diterimanya. Ia pun kembali
ke kampung halamannya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Ki Gedeng
Kemuning yang hendak berguru kepada Sunan Jati. Ki Gedeng Palumbon
berusaha mempengaruhi Ki Gedeng Kemuning karena menurutnya untuk apa
berguru kepada Sunan Jati yang diajarkannya hanya syahadat, azan,
komat, dan takbir. Akan tetapi, Ki Gedeng Kemuning tidak terpengarh
oleh bujuk rayunya, dan ia tetap hendak berguru kepada Sunan Jati. Oleh
Sunan Jati, Ki Gedeng Kemuning bersama Ki Gedeng Pamijahan, Ki Jopak,
Ki Kaliwedhi, Ki Gedeng Babadan, Ki Bungko, Ki Judi, Ki Gebang, Ki
Gedeng Mundu, Kiyai Wanasaba, dan Ki Kalijati diajarkan berbagai macam
ilmu, antara lain, syahadat, salat, zakat, puasa, dan berbagai jenis
tarekat, seperti Satariyyah, Naksabandiyah, serta Muhammadiyah. Selesai
berguru, Ki Gedeng pulang ke Kuningan, dan tak lama kemdian, ia
meninggal. Jenazah Ki gedeng Kemunig membengkak besar sekali.
Kebetulan, Ki gedeng Palumbon juga melayat. Mayat yang membesar itu,
menurut Ki Gedeng Palumbon, disebabkan oleh ilmu yang diajarkan Sunan
Jati. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang murid Sunan Jati yang
berasal dari Gebang bernama Kamil. Kedatangannya berniat memandikan
mayat. Mula-mula, mayat Ki Gedeng Kemuning menjadi semakin besar dan
mengeluarkan bau busuk. Lalu, mengecil dan berganti menyebarkan bau
harum. Melihat keadaan itu, Ki Gedeng Palumbon terkejut dan kagum. Ia
pun kembali ke Cirebon dan ingin berguru lagi kepada Sunan Jati. Oleh
Sunan Jati, ia disuruh bertapa di Gunung Cigugur.
Pupuh ketigapuluh tiga Kinanti, 38 bait.
Pupuh
ini menceritakankisah sayembara memperebutkan Putri Panguragan. Nyi
Panguragan atau Ratu Emas Gandasari mengadakan sayembara : Barang siapa
yang mampu mengalahkan dirinya, jika ia laki-laki, dialah yang akan
menjadi suaminya. Melalui sayembara itu, banyak orang yang ingin tampil
untuk mencoba kesaktiannya guna mengalahkan Gandasari. Tetapi, tak
seorangpun yang dapat mengalahkannya hingga datanglah seorang satria
dari negeri Syam bernama Pangeran Magelung. Dinamai Pangeran Magelung
karena rambutnya digelung karena sejak kecil hingga dewasa tidak ada
pisau cukur yang mempan untuk memotong rambutnya. Ia pergi ke Cirebon
untuk menemui sunan Jati. Setibanya di Karanggetas, ia bertemu dengan
seorang kakek-kakek yang mampu memotong rambutnya hanya dengan jari
tangan. Ketika Magelung menoleh, kakek yang menggunting rambutnya sudah
tidak ada. Lalu, Magelung meneruskan perjalanan hingga sampai di
tempat sayembara dan memasuki arena pertandingan. Dalam pertandingan
ini, Ratu Emas Gandasari ternyata dapat dikalahkan oleh Pangeran
Magelung. Ketika hampir tertangkap, gandasari berlindung pada Sunan
Jati.
Pupuh ketigapuluh empat Dangdanggula, 14 bait.
Akhirnya,
Pangeran Magelung dijodohkan dengan Ratu Emas Gandasari. Namun, mereka
berjanji tidak akan berkumpul selagi masih di dunia, kecuali kelak di
akhir zaman. Menurut kitab Babul, kediaman Ratu Emas Gandasari tidak
hanya satu. Kadang-kadang, ia berada di Pulau Kuntul (Bangau).
Sekarang, pulau bangau itu bernama pulau Kencana atau pulau Karas atau
di bangsal Karangsuwung. Jika ke barat, ia tinggal di Ujungsori. Dalam
pada itu, para wali—Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan
Kudus—sering berkumpul untuk membicarakan syareat Rasul, usul fikh,
serta kitab Fakulwahab.
Pupuh ketigapuluh lima Menggalang, 17 bait.
Pupuh
ini menceritakan persiapan Kerajaan Galuh yang berniat menyerang
Keraton Cirebon. Pada suatu hari, Raja Galuh mengumpulkan para
ponggawanya, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyag Sutem, Celengigel,
Dalem Ciomas, dan Dalem Kiban guna membicarakan negara Cirebon di
bawah pimpinan Sunan Jati. Pertemuan tersebut mengambil keputusan,
yakni meminta pajak terasi. Para senapati galuh telah mempersiapka
diri, antara lain, Sanghyang Gempol, Sanghyang Sutem, Dalem Kiban,
Dalem Ciamis, Dalem Ciomas, Suradipa, dan Kyai Limunding. Setelah
persiapan selesai, pasukan Galuh segera berangkat menuju Cirebon.
Pupuh ketigapuluh enam Sinom, 8 bait.
Dalam
perjalanan menuju Cirebon, pasukan Galuh mengadakan perkemahan di
perjalanan. Sementara itu, Pangeran Arya Kemuning anak Ki Gedeng
Kemuning sangat rindu pada Sunan Jati dan bersiap-siap hendak menghadap
ke Cirebon diiringi oleh Patih Waruangga dan Anggasura, serta para
mantri.
Pupu ketigapuluh tujuh Dangdanggula, 15 bait.
Barisan
pasukan dari kuningan yang berjalan ke arah barat bertemu dengan
pasukan Galuh. Bersamaan dengan itu, Raden Patah juga pergi ke
Cirebon—saat para wali masih berkumpul untuk membangun masjid dan
mendiskusikan agama Islam.
Pupuh ketigapuluh delapan Asmaranda, 13 bait.
Kedatangan
Sultan Demak di Cirebon bermaksud membicarakan perkawinan putrinya
Pulungnyawa dengan putra Sunan Jati. Perkawinan akan segera
dilangsungkan di Demak. Ketika para wali bersiap-siap hendak berangkat
ke Demak, datanglah Arya Kuningan yang mengabarkan adanya pasukan Galuh
yang akan menyerang Cirebon. Namun, para wali tetap berangkat ke
Demak, sementara musuh dari Galuh diserahkan kepada Arya Kemuning yang
segera mengatur barisannya di Gunug Gundul.
Pupuh ketigapuluh sembilan Durma, 24 bait.
Utusan
Arya Kemuning, Ki Anggarunting, ditugasi menyelidiki kekuatan pasukan
Galuh. Ia pergi bersama Ki Anggawaru. Tak lama kemudian, Ki
Anggarunting bertemu dengan Dipasara dan Kyai Limunding dari pihak
Galuh. Dalam pertempuran pertama, pasukan Kuningan terdesak. Arya
Kemuning maju membantu yang membuat barisan Palimanan berantakan.
Barisan pasukan Ciamis pun diterjang oleh kuda tunggang Arya Kemuning
yang bernama Wisnu.
Pupuh keempat puluh< Asmarandana, 10 bait.
Pasukan
Galuh yang dipimpin oleh senapati Dipati Kiban yang mengendarai seekor
gajah terus melakukan serangan. Serangan Dipati Kiban ini dihadapi
oleh Dalem Kuningan.
Pupuh kempatpuluh satu Pangkur, 27 bait.
Perang
tanding antara Arya Kemuning yang mengendarai kuda Wisnu melawan
dipati Kiban yang mengendarai gajah berlangsung seimbang dan lama
sekali. Meskipun sudah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda
siapa yang akan kalah. Demikian asyiknya mereka berlaga, dorong
mendorong hingga ke ujungtuwa di tepi pantai. Tak ayal lagi, dua-duanya
tercebur ke laut dan lenyap dari pandangan mata. Melihat senapatinya
lenyap, kedua belah pihak mengundurkan diri dan melapor kepada rajanya
masing-masing.
Pupuh keempatpuluh dua Sinom, 18 bait.
Kuwu
Sangkan alias Cakrabuwana memohohon izin kepada Sunan Jati untuk
membantu pasukan Kuningan ke medan perang. Tetapi, Sunan Jati tidak
menyetujuinya. Ki Kuwu Sangkan tetap memaksakan diri, dan ia pun
berangkat ke medan perang. Ki Kuwu Sangkan seperti orang linglung. Ia
pun tersesat ke gunung Panawarjati, dan akhirnya tafakur disana.
Kemudian, sepeninggal Kyai Sangkan datanglah Anggasura yang melaporkan
keadaan peperangan kepada Sunan Jati hingga hilangnya Arya Kemuning
bersama Dalem Kiban. Munurut Sunan Jati, keduanya masih tetap bertempur
di lautan. Kemudian pihak Cirebon menyusun bala bantuan dan segera
diberangkatkan ke medan perang d bawah pimpinan Patih Keling. Dalam
pertempuran lanjutan, pasukan Cirebon beserta para Manggalayuda
terdesak hebat oleh pasukan Galuh. Kesaktian para pemimpin pasukan
Galuh tak terlawan oleh para panglima pasukan Carbon. Pada waktu itu,
prajurit sudah tidak ikut bertempur. Mereka hanya disuruh
bersorak-sorai memberi semangat kepada para pimpinannya yang sedang
melakukan perang tanding. Tetapi, karena pimpinannya terdesak, mereka
pun lari mengundurkan diri.
Pupuh keempatpuluh tiga Pangkur, 10 bait.
Pada
saat pasukan Cirebon terdesak mundur, Ki Kuwu Sangkan masih tetap
bertafakur di gunung Panawarjati. Ia menyesal karena telah mendahului
kehendak kemenakannya, Sunan Jati. Tiba-tiba, ia mendengar suara yang
berasal dari sebatang pohon randu yang isinya menyatakan bahwa ia telah
dimaafkan oleh kemenakannya dan diminta segera membantu pasukan
Cirebon yang sedang terdesak. Cakrabuwana alias Ki Kuwu Sangkan
langsung menuju medan pertempuran. Ia mendengar suara di angkasa yang
menantang Sunan Jati. Itulah suara Sanghyang Gempol, salah seorang
sakti dari Galuh yang mengendarai kuda terbang. Cakrabuwana teringat
akan segala jenis pusakanya seperti badhong, bareng, kopiah,
umbul-umbul, dan golok Cabang segera melesat ke udara mengejar
Sanghyang Gempol. Ke arah mana pun Sanghyang Gempol pergi dan
bersembunyi, golok selalu membuntuti.
Selesai.
Sejarah Kota Cirebon menurut sumber lain
Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah
awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon,
Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang
paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada
tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah
Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi
yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata
“Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci”
artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat
terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu
hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah
tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka,
bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu
Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini
dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.
Karena
Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki
Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura,
tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang
anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara.
Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara
Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki
Gedeng Danuwarsih.
Puteri
Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden
Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi.
Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak
sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas
anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi
nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang
berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina,
sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya
etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas
saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama
adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi
Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim
putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah
Mudaim.
Dari
perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan
Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang
nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22
dari Nabi Muhammad.
Sesudah
adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa.
Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah
besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela
meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari
Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban
larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu
Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk
melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah
berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan
persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk
menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke
Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif
Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa
Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam,
menggatikan Syekh datuk Kahfi.
Syekh
Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya
meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati
Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri
Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh
Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana.
Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik,
sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari
perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin ,
kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.
Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan
kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon
ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau
Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah,
Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat
Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada
awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama
untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang
sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da
Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan
Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk
mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah
pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama
orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak
awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu
Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan
yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana
Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada
masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan
kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu
alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah
taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu,
Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika
Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri
Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran
Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak
tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi
tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran
Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan
Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan
Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota
Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo
mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi
akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah
toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor
gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3
perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka
cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es,
dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan
perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon
merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia
Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah
beras, ikan, tembakau dan gula.
Kisah asal-usul Cirebon
dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam
bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19.
Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga
sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah
awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon,
Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang
paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada
tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah
Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi
yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata
“Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci”
artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat
terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu
hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah
tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka,
bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu
Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini
dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.
Karena
Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki
Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura,
tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang
anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara.
Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara
Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki
Gedeng Danuwarsih.
Puteri
Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden
Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi.
Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak
sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas
anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi
nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang
berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina,
sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya
etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas
saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama
adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi
Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim
putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah
Mudaim.
Dari
perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan
Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang
nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22
dari Nabi Muhammad.
Sesudah
adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa.
Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah
besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela
meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari
Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban
larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu
Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk
melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah
berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan
persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk
menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke
Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif
Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa
Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam,
menggatikan Syekh datuk Kahfi.
Syekh
Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya
meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati
Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri
Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh
Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana.
Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik,
sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari
perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin ,
kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.
Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan
kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon
ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau
Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah,
Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat
Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada
awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama
untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang
sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da
Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan
Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk
mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah
pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama
orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak
awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu
Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan
yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana
Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada
masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan
kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu
alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah
taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu,
Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika
Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri
Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran
Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak
tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi
tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran
Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan
Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan
Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota
Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo
mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi
akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah
toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor
gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3
perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka
cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es,
dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan
perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon
merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia
Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah
beras, ikan, tembakau dan gula.
Kisah asal-usul Cirebon
dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam
bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19.
Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga
sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah
awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon,
Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang
paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada
tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon” adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi “Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”, berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “ Cirebon”. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”, negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah
Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi
yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata
“Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa Sunda berasal dari “Ci”
artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil” sebagai bahan pembuat
terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa dari dahulu
hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon.
Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah
tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka,
bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu
Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini
dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Prabu Anggalarang.
Karena
Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi Puteri Ki
Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura,
tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang
anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara.
Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara
Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki
Gedeng Danuwarsih.
Puteri
Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden
Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi.
Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak
sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas
anjuran gurunya, Raden Walangsungsang membuka daerah baru yang diberi
nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang
berkembang dan banyak didatangi orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina,
sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”, artinya campuran. Bukan hanya
etnis yang bercampur, tapi agama juga bercampur.
Atas
saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama
adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi
Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim
putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah
Mudaim.
Dari
perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan
Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang
nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22
dari Nabi Muhammad.
Sesudah
adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa.
Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah
besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela
meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari
Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban
larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu
Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk
melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah
berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan
persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk
menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke
Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif
Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa
Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam,
menggatikan Syekh datuk Kahfi.
Syekh
Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Disana ia menemukan jodohnya
dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya
meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati
Puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, Puteri
Sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh
Jati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam disana.
Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik,
sehingga masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperistri. Dari
perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin ,
kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten.
Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan
kedudukannya dan Syarif Hidayatullahpun kembali ke Caruban. Di Cirebon
ia dinobatkan sebagai kepala Nagari dan digelari Susuhunan Jati atau
Sunan Jati atau Sunan Caruban atau Cerbon. Sedjak tahun 1479 itulah,
Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai Pusat
Kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.
Pada
awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan terutama
untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka. Seorang
sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da
Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan
Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk
mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah
pimpinan Cornellis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama
orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai.
Sejak
awal berdirinya, batas-batas wilayah Kesultanan Cirebon termasuk
bermasalah. Hal ini disebabkan, pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu
Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika Banten muncul sebagai Kesultanan
yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana
Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Bagi Kesultanan Banten, batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada
masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan
kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu
alasan Sultan Mataram agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah
taklukan. Wilayah Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu,
Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika
Panembahan ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri
Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran
Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak
tahun 1678, dibawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi
tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran
Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan
Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan
Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran
Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota
Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo
mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi
akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah
toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor
gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3
perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka
cabangnya di Cirebon. Pada tahun 1877, disana sudah berdiri pabrik es,
dan pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan
perumahan dibangun pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon
merupakan salahsatu dari lima kota pelabuhan terbesar di Hindia
Belanda, dengan jumlah penduduk 23.500 orang. Produk utamanya adalah
beras, ikan, tembakau dan gula.
Komentar
Posting Komentar