Pendahuluan
Menurut Tim Panitia Peneliti Sejarah
Kabupaten Indramayu bahwa hari jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7
Oktober 1527 M yang telah disahka pada sidang Pleno DPRD Kabupaten
Daerah tingkat II Indramayu pada tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Daerah tingkat II Indramayu Nomor 02
Tahun 1977 tentang Penetapan Hari Jadi Indramayu, dimana dalam Peraturan
Daerah tersebut disebutkan bahwa hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh
pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M hari Jumat Kliwon tanggal 1
Muharam 934 H.Dalam menentukan hari jadi tersebut tim panitia peneliti
sejarah Indramayu berpegang pada sebuah patokan peninggalan jaman dulu
dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang ada, yaitu prasasti,
penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala/benda pusaka,
legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah masyarakat.
Proses Sejarah Indramayu Menurut Babad Dermayu penghuni partama daerah
Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa
Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah
kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata
dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah melampau
masa tiga tahun ia mendapat wangsit “Hai wiralodra apabila engkau ingin
berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah Sungai Cimanuk.
Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya
untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan
menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”.
Dengan didampingi Ki Tinggil dan
berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat
untuk mencari sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah
sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah
disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang
menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud
dan tujuan perjalanan mereka, namun orang tua itu berkata bahwa sungai
tersebut bukan cimanuk karna cimanuk telah terlewat dan mereka harus
balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut
lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang
Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung
Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474 - 1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil
melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari
berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut
adalah Cimanuk , tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik
kebun tersebut sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan
emosinya ketika ia hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap
hanya ada suara “Hai cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki
Sidum dan sungai ini adalah sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah
perjalanan kearah timur, manakala menjumpai seekor Kijang bermata
berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk
yang tuan cari.”.
Saat mereka melanjutkan perjalanan
bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa
untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat
gadis itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah
Larawana, gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang.
Wiralodra segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika
Kijang itu lenyap tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan
Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu Ki Sidum , dalam mimpinya itu Ki
Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi
tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat mimpinya
Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka
menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin
hari makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik
paripurna bernama Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam
ilmu kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang
datang ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang
Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang
terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi
Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang
Darma namun Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra
maka dia meloncat terjun ke dalam Sungai Cimanuk dan mengakui
kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk
bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma
tidak mau dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama
pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan
hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha
membangun daerah ini”.
Untuk mengenang jasa orang yang telah
ikut membangun pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “DARMA AYU”
yang di kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”.
Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang
tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim
Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at
kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7
Oktober 1527 M.
1.3 Catatan proses Indramayu lainnya
Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah
satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya
yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara
lain:
a. Berita yang bersumber pada Babad
Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu
Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa
Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng
Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun
1415 M .
b. Catatan dalam buku Purwaka Caruban
Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan
Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede
Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan .
c. Di tengah kota Indramayu ada sebuah
desa yang bernama Lemah Abang, nama itu ada kaitannya dengan nama salah
seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh
Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 - 1406) Syeikh Lemah Abang
pernah tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya
untuk mengajarkan agama islam.
Setelah bangsa Portugis pada tahun 1511
menguasai Malaka antara 1513-1515 pemerintah Portugis mengirimkan Tom
Pires ke Jawa . Dalam catatan harian Tom Pires terdapat data- data bahwa
:
> Tahun 1513-1515 pedukuhan Cimanuk sudah ada bahkan sudah mempunyai pelabuhan > Pedukuhan Cimanuk ada dalam wilayah kerajaan sunda (Pajajaran) .
Melihat bukti-bukti atau sumber di atas
diperkirakan pada akhir abad XVI M daerah Indramayu sekarang atau
sebagian dari padanya sudah dihuni manusia.
*Sumber: Buku Sejarah Indramayu (cetakan ke 2) terbitan pemerintah Kabupaten DT II Indramayu
Sejarah desa Cikedung diawali dari peperangan di sekitar hutan Sinang
antara Pakungwati dan penganut Kesanghyanan di sekitar abad 15-an
masehi dan memiliki keterkaitan dengan sejarah desa-desa disekitarnya.
Karena sulitnya mencari sumber sejarah primer yang dibutuhkan maka
penulis (asli kelahiran Desa Cikedung) terpaksa mengambil sumber-sumber
sejarah sekunder ditengah masyarakat dengan tetap menjunjung
independensi dan pendekatan logika. Dan harapan penulis semoga tulisan
sederhana ini mudah dipahami dan bermanfaat bagi pembaca.
ASAL-USUL DESA AMIS
Dikisahkan sekitar abad 15-an masehi di kawasan timur hutan Sinang
terdapat komunitas masyarakat yang sudah berbudaya. Komunitas ini
bernama pedukuhan Cempakamulia yang dipimpin oleh Ki Dusta yang konon
menurut narasumber berasal dari wilayah utara (Cikedung), beliau juga
menjadi pemuka agama kesanghyangan dipedukuhan tersebut dan sosok yang
memiliki integrasi yang kuat terhadap keyakinan dan wilayahnya seperti
kisah Ki Ageng Parean di Kandanghaur, beliau juga memiiki seorang
puteri yang bernama Nyai Dyahrengganis, masyarakat pedukuhan ini
berasal dari pendatang baik sebagai pencari lahan garapan baru,
pengolah hasil hutan atau pengungsi/pelarian dari daerah lain yang
kemudian menetap disana. Penduduk dukuh Cempakamulia menganut agama
Kesanghyangan karena pengaruh dari wilayah pasundan diselatannya
sedangkan bahasa dan aksennya adalah akulturasi bahasa sunda dan jawa
yang memunculkan keunikan sendiri yang disebut bahasa Indramayu 'reang'
bukan bahasa Indramayu 'isun'. Ki Dusta yang digambarkan sudah tua
renta ini memiliki dua orang murid mereka adalah Ki Koang dan Ki
Brangbang yang konon digambarkan juga keduanya temperamental dan sangat
menyukai minum tuak, menari dan musik tetapi sangat setia dengan
gurunya.
Perjalanan Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang dari
Pakungwati sampai juga di pedukuhan ini. Perjalanan Cakrabuana ini
dalam rangka menyebarkan agama islam. Mengetahui masyarakat
Cempakamulia ini belum menganut agama Islam, Cakrabuana berupaya
mengislamkan mereka dengan cara-cara halus. Salah satu yang
dilakukannya adalah menjadi dalang pertunjukan wayang kulit di
perempatan Bugisbugiana (sekarang Majasayun) dan konon wayangnya dibuat
mendadak dari kulit Banteng yang ditangkap di hutan Sinang dan tercium
amis (anyir) oleh semua yang hadir. Penduduk Cempakamulia pun menonton
wayang kulit ini tapi oleh sang dalang diwajibkan untuk bersama-sama
membaca dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam dan untuk lelaki
diwajibkan pula sunat. Beberapa hari kemudian setelah pertunjukan,
Cakrabuana harus kembali ke Cirebon dan mengutus Ki Walidin untuk
menetap dan mengajarkan ilmu keislaman pada penduduk setempat yang baru
masuk Islam termasuk menyunati para lelakinya tersebut. Ki Dusta
menyadari ada upaya mengganti keyakinan penduduk dukuh Cempakamulia
yang sudah dianut bertahun-tahun dengan agama Islam dan Cempakamulia
perlahan akan dikuasai Cirebon. Hal ini membuat Ki Dusta tidak menyukai
keberadaan Ki Walidin dan menunggu perkembangan selanjutnya tetapi
berbeda dengan Ki Koang dan Ki Brangbang sebagai sang murid, keduanya
beraksi menentang penyebaran agama islam ini misalnya dengan
menyebarkan kabar bahwa kelamin pria yang akan disunat akan dipotong
dengan pedang. Menghadapi agitasi dan intimidasi ini tetapi Ki Walidin
tidak menyerah apalagi penduduk Cempakamulia sebagian telah memeluk
agama Islam. Pertentangan ini semakin hari semakin memanas dan sebagai
puncaknya adalah tewasnya Ki Walidin yang tubuhnya dicincang oleh Ki
Koang dan Ki Brangbang lalu mayatnya dikubur disuatu tempat. Tewasnya
Ki Walidin yang tidak wajar diketahui oleh Cakrabuana di Pakungwati
sehingga Ki Dusta dan muridnya pantas dihukum dan tanpa menunggu lama
apalagi jarak yang akan ditempuh sangat jauh, Cakrabuana segera
mengirimkan pasukan kecil pilihan dari Pakungwati dan santri-santri
dari Pasambangan, ditunjuklah Ki Ageng Agrantaka dan Ki Ageng Krapyak
untuk memimpin pasukan ini dan diperintahkan ke Cempakamulia secepatnya
sedangkan Cakrabuana akan menyusul kemudian.
Kabar kematian Ki Walidin ini membuat pedukuhan Cempakamulia
mencekam dan penduduk ketakutan. Penduduk yang sudah memeluk agama
Islam segera mengungsi ke tempat aman. Setelah mengetahui muridnya
adalah pembunuh Ki Walidin, Ki Dusta segera mengumpulkan orang-orang
yang masih dibawah pengaruhnya untuk dipersiapkan menghadapi segala
kemungkinan terutama dari Pakungwati. Dengan kemampuan dan keahlian
perang seadanya terbentuklah pasukan kecil Cempakamulia yg dipimpin Ki
Dusta sendiri dan dibantu Ki Koang dan Ki Brangbang mereka menyiapkan
segala sesuatunya disebuah tanah lapang atau tegalan disisi utara dan
timur dukuh Cempakamulia. Singkat waktu pasukan inipun akhirnya bertemu
dengan pasukan Pakungwati dan perang pun tidak bisa dihindari. Perlu
diketahui peperangan ini tak sebesar perang Rajagaluh atau perang
Paregreg yang melibatkan ribuan prajurit dan banjir darah sampai
mengalir (bahasa Indramayu : ngrapyak), andaikan ada cerita bahwa
peperangan ini sangat besar sampai banjir darah bukan berarti seperti
banjirnya air setelah hujan dijalan-jalan. Peperangan ini tak tercatat
dalam ensiklopedi perpustakaan Kesultanan Cirebon atau catatan lain,
mungkin wilayah ini secara geografis sangat terpencil ditengah hutan
saat itu walaupun tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain hingga
kejadian ini tidak dicatat. Karena banyaknya korban yang tewas dan
darah berceceran maka tegalan tersebut berbau amis dan tanahnya pun
berubah warna. Dalam peperangan ini pasukan Ki Dusta sebagai pihak yang
kalah tapi mereka tak mau tunduk apalagi harus masuk Islam. Tegalan
bekas peperangan ini masih ada sampai sekarang dan disebut tegal
Peninjauan karena saat peperangan terjadi Cakrabuana melihat/meninjau
dari kejauhan. Setelah peperangan ini berakhir pedukuhan Cempakamulia
kemudian ditinggalkan dan penduduk yang sudah menganut agama islam
pindah ke pedukuhan baru disebelah barat tegal Peninjauan yang
sebelumnya menjadi tempat istirahat prajurit Pakungwati. Didasari
peristiwa lampau tersebut sampai sekarang warga desa Amis tabu
menanggap wayang kulit sebab jika dilanggar maka diyakini akan muncul
prahara seperti dahulu atau meninggalnya salah seorang anggota
masyarakat setempat. Jika ada adat-adat desa pun bukan wayang kulit
yang dipertunjukan seperti desa-desa lain tetapi warga desa ini
menggunakan wayang golek cepak dari desa Gadingan, Sliyeg, Indramayu.
ASAL-USUL DESA JAMBAK
Medan peperangan tidak hanya di Tegal Peninjauan tetapi meluas ke
arah utara dan barat mengikuti alur mundurnya pemimpin dan pasukan Ki
Dusta yang kalah perang. Ki Dusta memisahkan diri dengan induk
pasukannya ke utara dengan maksud memecah pasukan Pakungwati namun
upaya ini tidak berhasil hanya Ki Ageng Krapyak saja yg mengejar Ki
Dusta. Perang tanding keduanya tidak hanya disatu tempat tapi juga
dibeberapa tempat, ketika mereka berkelahi dengan saling tendang
menendang maka kelak tempat itu bernama Tegalbajeg yang tanahnya tandus
sampai sekarang konon akibat pengaruh kesaktian mereka dan meninggalkan
banyak bekas tumit kaki (bahasa jawa Indramayu : Bajeg), ketika Ki
Ageng Krapyak memutus telinga Ki Dusta dengan pedang saktinya, daerah
ini dikemudian hari dikenal dengan nama Tegalkuping (sekarang menjadi
komplek pemakaman Kristen desa Jatisura kec Cikedung), dan pada
akhirnya Ki Ageng Krapyak bisa dikalahkan oleh Ki Dusta dengan
menjambak rambutnya ketika akan berwudlu di sebuah sumur, Ki Ageng
Krapyak pun tewas dan menghilang ditempat tersebut yang kemudian tempat
itu menjadi cikal bakal desa Jambak, nama desa yang berasal dari kata
jambak (bahasa Indonesia : menarik rambut kepala). Setelah Ki Ageng
Krapyak tewas, Ki Dusta terus mengganggu sisa prajurit Pakungwati
dengan ilmu kesaktiannya dari suatu tempat di hutan Sinang, tetapi
Cakrabuana tak mau kehilangan orang-orangnya lagi dengan terus menerus
mengimbangi kekuatan Ki Dusta dalam bentuk apapun.
ASAL-USUL DESA CIKEDUNG
Sementara disisi lain, prajurit Pakungwati yang tersisa dipimpin Ki
Ageng Agrantaka mengejar sisa pasukan Ki Dusta yang dipimpin Ki Koang
dan Ki Brangbang yang lari ke wilayah barat. Kisah pengejaran ini
mempunyai cerita khusus karena banyak tempat yang diberi nama
berdasarkan peristiwa pengejaran ini, ketika pasukan ini saling
melemparkan batubata ketika ketemu, kelak tempat itu disebut Lungbata,
ketika saling dorong disebuah kali kecil maka tempat itu dinamai
Kalenjoggol, ketika bersembunyi di ladangnya Ki Menol dan saling
melihat dari jauh (bahasa jawa Indramayu : sérang) maka tempat ini
kelak dinamai Sérang, ketika melewati suatu jalan dan alat perang jatuh
dan lunturnya kesaktian para prajurit maka lokasi ini kelak disebut
Kecepot dan sebagainya. Pengejaran ini membuat sisa pasukan Pakungwati
kelelahan dan kehausan. Mereka harus mencari air untuk minum, berwudlu
dan mencuci peralatan perang mereka dan juga sebuah tempat untuk mereka
istirahat. Mereka harus mencari air tetapi air yang mereka cari tidak
ditemukan akhirnya Ki Ageng Agrantaka memutuskan mencari sumber air
bersih dahulu dan merintis jalan kembali ke Cirebon jika perang telah
usai. Tanpa menunggu lama mereka pergi ke arah utara yang dinilai lebih
aman. Beberapa lama kemudian mereka sampailah disuatu tegalan luas dan
tiba-tiba tegalan ini berubah menjadi laut dan menghalangi langkah
mereka. Mereka bertahan dibawah pohon Dadap dan tertolong dengan
sedikit air dibawahnya. Mereka juga menaiki pohon ini untuk melihat
keadaan karena mereka tahu ini adalah tipu daya musuh yang terus
membayangi mereka, dan setelah laut jelmaan itu lenyap mereka
melanjutkan pencarianya apalagi setelah air dibawah pohon Dadap ini
tidak cukup untuk seluruh pasukan. Tempat pohon ini kelak dinamai dusun
Cidadap. Ki Ageng Agrantaka akhirnya menemukan sebuah sumber air berupa
kedung (bahasa Indonesia : sumur air ditengah sungai kering), airnya
sangat jernih dan tidak berasa anta ataupun asin, begitupun jalan yang
mereka rintis menemui arah yang tepat untuk kepulangan mereka ke
Cirebon setelah perang berhenti. Disekitar sumber air yang berbentuk
kedung ini kelak akan menjadi cikal bakal pemukiman desa Cikedung yang
pertama. Nama Cikedung berasal dari kata Cai atau Ci dari bahasa sunda
yang berarti air dan Kedung atau sumber air. Daerah ini kemudian
ditinggalkan (sekarang berganti nama menjadi Blok Buyut Kesambi)
setelah penduduknya pindah ke timur mencari sumber air baru setelah air
di kedung ini habis dan sungainya semakin dangkal (sekarang menjadi
sawah). Daerah pemukiman baru disebelah timur itu kemudian berkembang
menjadi desa dan tetap menggunakan nama Cikedung sebagai nama desanya.
Ada satu peninggalan kedung di desa Cikedunglor yaitu sumur Ki Buyut
Rasga Asem Gede, menurut beberapa tokoh masyarakat setempat kedung ini
yang dimaksud oleh sejarah kepindahan dulu, tetapi menurut tokoh
masyarakat lain bisa juga itu sumur buatan baru dalam konteks kekinian
dengan argumentasi ketika jumlah penduduk Cikedung bertambah maka
digalilah sumur-sumur baru dan karena seleksi alam akhirnya tersisa
hanya sumur tadi yang kini keadaanya juga tinggal menunggu kehancuranya
saja dan sudah tidak digunakan lagi.
ASAL-USUL DESA LOYANG, SUMUR SANTRI DAN MISTERI ALAS SINANG
Penemuan sumber air ini pun menjadi sangat berharga bagi seluruh
pasukan Pakungwati dan setelah mendapat air, pasukan Pakungwati
melanjutkan pengejaran kembali ke selatan. Pada saat pengejaran mereka
sampai ditepi sungai yang kering dan lebar didapati sebuah pohon Lo
yang besar. Pohon ini menjadi pemujaan penganut agama kesanghyangan.
Sang petapa tua yang bertapa dibawah pohon itu lenyap setelah Ki Ageng
Agrantaka menanyakan arah pelarian sisa pasukan Ki Dusta. Daerah ini
dikemudian hari dihuni penduduk dan diberi nama desa Lohyang, atau desa
Loyang. Nama yang diambil dari nama pohon Lo yang menjadi tempat
pemujaan ke Sang Hyang (ngehyang). Pohon Lo tersebut sekarang sudah tak
berbekas lagi.Ki Ageng Agrantaka terus membawa sisa pasukannya ke
selatan mengikuti sisa pasukan Ki Dusta sampai di pedalaman hutan yang
kering. Ditengah hutan pun dalam pengejarannya pasukan Ki Ageng
Agrantaka selalu mencari sumber air baik kedung, cura atau menggali
sumur untuk minum, berwudlu atau mencuci perlengkapan perang mereka,
sekarang masih banyak terdapat sumur-sumur tua peninggalan pasukan Ki
Ageng Agrantaka salah satunya adalah Sumur Santri dan sebuah surau
kecil yang sudah direnovasi dan terawat dengan baik setelah dipakai
hujlah oleh santri-santri dari salah satu pesantren di kabupaten
Cirebon sekitar tahun 1980-an.Sisa pasukan Ki Koang dan Ki Brangbang
yang terus mundur ke selatan kedalam hutan belantara menggunakan taktik
perang yang kadang muncul lalu menghilang laksana siluman maka Ki Ageng
Agrantaka menyebut mereka Si Nang dari bahasa jawa Indramayu yakni
Senang;nang : bocah atau anak kecil yang suka berlarian atau senang
main petak umpet) maka hutan tersebut dikenal sebagai hutan Sinang atau
sebagian orang menyebutnya hutan/alas Loyang karena dekat dengan desa
Loyang.
Akhirnya atas perintah pangeran Cakrabuana pengejaran
dihentikan setelah Ki Dusta sebagai pemimpin besarnya berhasil
dikalahkan oleh pangeran Cakrabuana ketika Ki Dusta sedang lelaku tapa
gantung tanpa menginjak tanah di hutan Sinang. Pangeran Cakrabuana
harus merubah diri menjadi seekor kijang emas dan matanya bercahaya
yang membuat Ki Dusta gagal dalam pertapaanya lalu menghilang entah
kemana.Begitupun sisa pasukan Ki Koang dan Ki Brangbang pun tak lagi
bisa dikejar dan hilang entah kemana. Bahkan sampai sekarang ditengah
hutan Sinang terdapat situs dimana menurut keyakinan masyarakat
setempat menjadi tempat dulu pasukan Ki Dusta moksa, konon ditempat ini
dulu masih kerap terdengar alunan gamelan di malam hari, juga menurut
beberapa orang pernah melihat penamakan wanita cantik dengan kostum
jaman dulu yang menurut mereka adalah penjelmaan Nyai Dyahrengganis
putri Ki Dusta. Kini situs itu hanya tinggal segerombolan pohon yang
sangat besar dan tua diatas bukit yang dikepung tanaman industri tebu
kendati masih terasa aura mistisnya. Situs ini diyakini pula sebagai
istana Ki Dusta dan rakyatnya. Konon pohon-pohon itu tak bisa ditebang
atau dirobohkan walau menggunakan buldozer sekalipun. Bahkan menjelang
petang penduduk setempat melarang keras siapapun berada disekitar
lokasi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah mendapat
perintah dari pangeran Cakrabuana sisa-sisa pasukan Pakungwati kembali
ke Cirebon dengan kegagalan (mungkin ini penyebab peristiwa perang di
desa Amis tidak dicatat dalam kitab-kitab sejarah tua, bukankah yang
menyusun kitab-kitab sejarah itu kalangan keraton, maka kisah yang
mengunggulkan pihak mereka sajalah yang dicatat, salah satu bentuk
sentralisasi informasi dijaman itu, data yang dihasilkan pun cenderung
berat sebelah dan cenderung mengkultuskan tokoh yang berkuasa saat itu
untuk membentuk opini publik).
Sisa pasukan Pakungwati ada yang
langsung kembali ke Cirebon melalui jalan pulang yang dirintis
sebelumnya dan ada pula yang bertahan seperti Ki Ageng Agrantaka yang
memilih menetap di barat laut hutan Sinang (sekarang desa Rajasinga
Kecamatan Terisi) dan menyebarkan agama Islam disana. Adapun sisa
prajurit yang kembali ke Cirebon satu persatu gugur diperjalanan pulang
seperti buyut Asiah di desa Cikedung, buyut Inten di desa Tugu Lelea,
dan sebagainya. Sisa pasukan Pakungwati yang kembali ke Cirebon melalui
jalur Cikedung, Tugu, Widasari, Bulak, Sleman, Cangkingan,
Kedokanbunder dan seterusnya tidak pernah diketahui lagi beritanya dan
mungkin menjadi tokoh sejarah setempat dengan nama lain. Daerah-daerah
bekas peperangan ini kemudian menjadi desa-desa, masyarakat
Cempakamulia yang beragama islam dan lepas dari pengaruh Ki Dusta
kemudian menjadi leluhur warga desa Amis dan Loyang.
Daerah-daerah
sekitarnya berkembang pun karena migrasi penduduk dari selatan
(Sumedang dan Majalengka) dan Indramayu timur karena daerah ini
memiliki daya tarik hutan heterogen dan tanah yang luas dan subur.
Pada
awal abad 18 Masehi daerah ini pernah menjadi basis perjuangan Ki Bagus
Rangin/Tubagus Rangin dari Bantarjati, Majalengka, bersama buyut Bagus
Arsidem (makamnya ada di Komplek Pemakaman Kuno Kesambi), Bagus
Arsitem/Buyut Sumber, Bagus Perak, Bagus Kandar, Buyut Urang/Pamayahan
dan lainya ketika tanah dikawasan itu disewakan ke Kolonial Belanda
oleh sultan Kasepuhan yang pro penjajah sehingga masyarakat setempat
menjadi kuli yang diupah rendah bahkan tidak dibayar. Buyut Bagus
Arsidem dan Buyut Bagus Arsitem/Buyut Sumber dianggap sebagai leluhur
oleh sebagian besar masyarakat Cikedung. Hanya sedikit yang mengaku
turunan Sumedanglarang atau wilayah lain.
Pada era perang kemerdekaan
wilayah ini juga menjadi basis 3 kekuatan militer seperti Pasukan
DI/TII/Hizbullah pimpinan Danu, Kesatuan Pesindo/Sosialis pimpinan
Sumo, dan Pasukan Siliwangi pimpinan MA Sentot yang masih muda belia,
konon 3 kekuatan ini sangat kuat diutara Jawabarat jadi bisa
dibayangkan betapa dinamisnya kehidupan berpolitik diwilayah itu karena
satu cita-cita kemerdekaan Indonesia walau tetap saja berakhir dengan
perang antara kesatuan-kesatuan ini karena ideologi yang berbeda.
Pasca
proklamasi kemerdekaan masyarakat keturunan China pun pernah memiliki
komunitas tersendiri khususnya di desa Cikedung (Kecamatan Cikedung),
desa Tugu dan desa Tunggulpayung (kedua desa terakhir masuk kecamatan
Lelea), mata pencaharian mereka adalah pedagang, buruh bangunan,
seniman bahkan menjadi guru/pendidik. Pada dekade 1960-an sebagian
keturunan China ini terusir atau terbunuh dan harta mereka dijarah
akibat situasi politik saat itu adapun sebagian lagi bertahan hidup
karena menaturalisasikan diri dan bersungguh-sungguh memberikan
kontribusi untuk masyarakat setempat, kini di ketiga desa tersebut
hanya sedikit yang mengaku turunan China dan mereka tak lagi mengenakan
atribut yang berbau China lagi.
Sekarang desa Cikedung dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa
Cikedung dan desa Cikedunglor tahun 1987 dan menjadi sebuah kecamatan
di wilayah selatan kabupaten Indramayu. Apakah sejarah desa Cikedung
dan desa-desa sekitarnya memiliki hubungan dengan Wiralodra yang konon
sebagai pendiri Indramayu? Sampai sekarang tidak atau belum ditemukan
adanya hubungan antara sejarah masa lalu Cikedung dengan sejarah masa
lalu Indramayu kecuali pertengahan abad 18 Masehi sampai sekarang
itupun karena catatan administrasi yang diterbitkan pemerintah Kolonial
Belanda dan Inggris. Apakah Cikedung dulu bagian dari Sumedanglarang?
Karena tak ada rentetan sejarah Sumedanglarang yang menyinggung daerah
tenang ini maka masih belum dipastikan Cikedung pernah menjadi bagian
dari Sumedanglarang kecuali diglobalpetakan dengan menarik garis antar
2 titik daerah kekuasaan maka Cikedung bisa diklaim pernah dikuasai
banyak kerajaan tapi hanya Kesultanan dari Cirebon saja yang menulis
namanya disini sementara yang lain tidak ada termasuk kesultanan
Dermayu sendiri.
Untuk diketahui bahwa sejarah Wiralodra adalah sejarah asal-usul
kota Indramayu, bukan sejarah kabupaten Indramayu apalagi sejarah untuk
seluruh wilayah kabupaten Indramayu secara administratif.
(dari berbagai sumber)
|
mlm mas soli@ saya mau nanya masalah sejarah desa loyang itu perlu perjelas karena saya asli keturunan dari desa loyang jadi sejarah itu timpang mas...........
BalasHapus